Jejamo.com, Bandar Lampung – Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung (FKIP Unila) mengadakan Pelatihan Dukungan Psikologi Penyintas Anak di Daerah Bencana.
Acara ini diprakarsai oleh FKIP dengan Dekan Patuan Radja bersama Himpsi Lampung dengan Ketua Renyep P., psikolog; dan Ratna Widiastuti, psikolog sebagai ketua pelaksana.
Pelatihan ini menghadirkan pemateri Yeti Widiati, psikolog dari lembaga Paradigma sekaligus trainer kebencanaan (Psychosocial First Aid) pada Badan Amil Zakat Nasional (Baznas)).
Menurut ketua pelaksana Ratna Widiastuti dalam rilis yang diterima jejamo.com malam ini, tujuan kegiatan ini adalah memberikan ilmu atau beragam terapi yang dapat digunakan oleh relawan dalam mendukung psikologis penyintas anak di daerah bencana.
Terapi dalam psychososial first aid (PFA) atau bantuan psikologis pertama inilah yang nantinya akan mendukung usaha survive di masa recovery (pemulihan).
Acara ini diikuti oleh 44 peserta terdiri dari civitas akademika Prodi Bimbingan Konseling Universitas Lampung, PG Paud Universitas Lampung, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Lampung, Prodi Psikologi Universitas Islam Negeri Raden Intan, Prodi Psikologi Universitas Malahayati, Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Provinsi Lampung dan unsur masyarakat lainnya.
Materi yang disampaikan Yeti di antaranya adalah konsep evaluasi dalam bencana, pengenalan korban termasuk karakteristik dan kategori korban , critical incident stress management dalam kebencanaan, sindrom bencana, trauma dan penanganan krisis, P3K psikologis ( atau dikenal sebagai psychososial first aid (PFA).
Dilatihkan juga beberapa tindakan-tindakan yang harus dilakukan didalam PFA; seperti self protection pada relawan, psikodrama, art therapy, eye movement, debriefing, dissosiasi, narrative exposure therapy serta teknik-teknik lain yang bermanfaat untuk membantu penyintas mengatasi gangguan psikologis serta bangkit kembali dan memegang kendali atas hidupnya.
Salah satu teknik didalam art therapy, misalnya, dengan mengajak peserta melakukan stimulasi emosi melalui aktivitas menggambar.
Gambar berupa dua hal yaitu yang tidak menyenangkan dan gambar yang membuat menyenangkan dan terasa nyaman.
Salah satu peserta pelatihan Naqiyyah Syam perwakilan Puspa Lampung mengakui sangat senang mendapat ilmu dalam mendampingi psikologi anak di daerah bencana ini.
“Apabila trauma pribadi ikut terpicu saat membantu penyintas, maka para relawan dianjurkan untuk melakukan self healing,” ujar Yeti Widiati.
Tidak menutup kemungkinan bagi relawan untuk mempunyai emosi negatif. Kondisi lapangan juga akan membuat relawan mudah terpicu emosi sesuai beragam emosi negatif yang dialami penyintas.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa setelah bencana, sebulan pertama memang banyak bantuan diberikan kepada penyintas, terutama bantuan logistik.
Namun setelah sebulan berlalu, bantuan itu akan “pergi”, sedangkan penyintas harus bertahan hidup di lokasi bencana.
“Mereka harus dibantu untuk mampu survive dan kuat terutama secara psikologis utk menghadapi masalah hidupnya. Disinilah peran relawan dukungan psikologis akan membantu penyintas agar kembali kuat secara psikologis dalam menyelesaikan masalah-masalah hidupnya,” pungkas Ratna Widiastuti. []