Senin, November 11, 2024

Top Hari Ini

Terkini

Forbes Nilai Pemerintahan Jokowi Keliru Soal Ekonomi Indonesia

Presiden Joko Widodo | ist
Presiden Joko Widodo | ist

Jejamo.com, Jakarta – Forbes menilaicukup mengkhawatirkan bila penguasa, atau pemimpin, dari sebuah negara melakukan diagnosis dasar yang salah mengenai negaranya. Hal ini, menurut Forbes, sedang terjadi di Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Menurut Tim Worstall, Kontributor Forbes, Presiden Jokowi mengatakan negara perlu melakukan distribusi dana yang lebih merata. Namun, Worstall menuturkan hal tersebut sebenarnya bukan merupakan suatu masalah karena masalah utamanya adalah Indonesia tidak memiliki cukup banyak dana untuk bisa didistribusikan.

Dengan demikian, perhatian harus diberikan pada bagaimana cara menghasilkan lebih banyak dana, daripada mendistribusikan jumlah dana yang tidak memadai yang ada saat ini. Sangat mungkin pada titik tertentu ketidaksetaraan menjadi masalah yang besar, tapi Worstall sangat meragukan hal ini di Indonesia.

“Presiden Indonesia pada Rabu (16/8) melakukan distribusi dana negara yang lebih adil,” kata Worstall, dilansir Republika.co.id, Jumat, 25/8/2017.

Ia mengatakan, masalahnya adalah pendistribusian dana yang ada, akan memberikan efek negatif pada upaya menghasilkan dana yang lebih banyak. Dengan demikian, pemerintah Indonesia perlu memutuskan apakah masalah utama Indonesia sebenarnya adalah ketidaksetaraan, atau justru kemiskinan.

Jika masalah utamanyanya adalah kemiskinan secara keseluruhan, maka pemerintah harus menyusun peraturan untuk menghasilkan lebih banyak dana, tentunya dengan mengorbankan ketidaksetaraan itu. Namun, jika masalah utamanya adalah ketidaksetaraan, maka pemerintah harus melakukan sebaliknya.

Menurut Worstall, dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia sekitar 11 ribu dolar AS atau Rp 143 juta, kemiskinan masih menjadi masalah yang lebih besar daripada ketidaksetaraan. “Dalam pidato kedua, sebuah pidato kenegaraan, Jokowi mengatakan fokus pemerintahannya tahun ini adalah untuk memastikan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen dalam beberapa tahun terakhir bisa dirasakan oleh semua orang,” kata Worstall.

Ia menuturkan, ada dua hal yang diketahui mengenai ketidaksetaraan dan pertumbuhan ekonomi. Yang pertama adalah ketidaksetaraan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun yang kedua adalah pertumbuhan ekonomi itu sendiri kemudian menciptakan ketidaksetaraan.

“Sekali lagi, mana yang lebih harus kita pedulikan, ketidaksetaraan atau kemiskinan yang terus tumbuh? Menurut saya sendiri, kemiskinan harus diatasi terlebih dahulu, baru ketidaksetaraannya,” kata dia.

Worstall menuturkan, saat ini Indonesia berada di era 1930an-1940an Amerika Serikat (AS). Menurutnya, warga miskin Amerika telah mengupayakan pertumbuhan ekonomi lebih baik secara umum sejak saat itu, daripada berusaha mengurangi ketidaksetaraan. Pastinya, kata dia, warga Amerika saat ini hidup lebih baik daripada warga kelas menengah di Indonesia.

“Presiden Jokowi juga menyoroti kesungguhan pemerintah untuk memastikan orang-orang Papua yang tinggal di wilayah pegunungan dapat memanfaatkan harga bahan bakar dan barang pokok yang sama dengan rekan-rekan mereka di wilayah lain di Indonesia,” kata dia.

Worstall mengatakan, jika bahan bakar dan bahan pokok lainnya harganya lebih mahal untuk dibawa naik ke wilayah pegunungan, maka bahan bakar dan bahan pokok lainnya itu harganya juga harus lebih mahal setelah sampai di wilayah pegunungan.

Menurutnya, soal rasa, Presiden Jokowi mungkin menginginkan pemerataan yang lebih besar, demi menghapuskan kemiskinan. Namun ia bersikeras Indonesia masih harus mengupayakan pertumbuhan ekonomi terlebih dahulu, bukan redistribusi untuk menciptakan pemerataan.(*)

Populer Minggu Ini