Jejamo.com, Bandar Lampung – Mendengar kata batik, sebagian besar pembaca mungkin berpikir ini adalah kerajinan kain yang memiliki nilai seni tinggi dan bagian dari budaya Indonesia. Seni membatik merupakan warisan nenek moyang sejak dahulu.
Dulu, batik identik dengan budaya Jawa dan sulit dikembangkan di wilayah lain. Namun, batik Lampung lahir atas tangan dan ide kreatif Gatot Kartiko (49). Melalui produksi rumah batiknya, ia memproduksi “Gabovira”.
Nama ini berasal dari gabungan nama keluarga, Gatot, Debora (istri), Javiana (anak sulung), dan Raga (anak kedua). Setelah membuat plang nama di rumahnya, ikon “Gabovira” ini menjadikan sarana promosinya. Ia sudah menghasilkan beragam motif batik untuk pakaian resmi dan kasual.
Sebelum merintis usaha sebagai pengusaha batik yang sukses seperti sekarang, tahun 1999 perusahaan tempat Gatot bekerja gulung tikar. Akibatnya, ia di-PHK. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, gatot berusaha mencari pekerjaan. Namun, karena faktor usia, ia tak bisa lagi bekerja di sebuah perusahaan.
Dari sisa uang PHK senilai Rp3 juta, ia mencoba merintis usaha berjualan batik, bekerja sama dengan teman-teman di perusahaannya dulu. Ia dipinjamkan barang senilai Rp15 juta, batik dari Pekalongan ia jual ke lampung.
Dari pasar ke pasar, dari rumah ke rumah Gatot menawarkan batik Pekalongan yang dijinjingnya itu, sayangnya kurang laku.
“Saya sering diusir pedagang lain di pasar, katanya mengganggu jualan mereka,” ujar Gatot kepada jejamo.com beberapa waktu lalu di rumahnya, Jalan Basudewo B4 No.17 Beringin Raya, Kemiling.
Tahun 2001, Gatot mulai merintis usaha produksi batik khas Lampung. “Saya melihat Lampung ini terkenal adalah tapis dan siger. Namun, batik yang dikenakan masyarakat Lampung kebanyakan motifnya masih kombinasi ornamen Jawa-Lampung.
Ciri khas batik Lampung itu sendiri belum terlihat. Gatot lalu berpikir dan memulai usaha batik dengan desain full ornamen khas Lampung.
Untuk mendapatkan inovasi dalam batik Lampung, ia belajar secara otodidak budaya Lampung. Ia berusaha memahami budaya Lampung dari orang asli Lampung. Ia rajin mengikuti seminar budaya Lampung, dan berkunjung ke museum Lampung.
Ia juga belajar otodidak cara membuat ornamen Lampung di aplikasi Coreldraw. Pembuatan batiknya tidak jauh beda dengan seni batik yang ada di Jawa. Gatot hanya membedakan di desain dan coraknya. Ia memasukkan unsur-unsur budaya Lampung, simbol-simbol daerah, ornamen, dan keragaman hias ciri khas tanah lado ini.
Gubernur Lampung Sjachroedin ZP sempat berkunjung ke Lampung Expo dan sangat terkesima dengan desain batik yang dipamerkan Gatot. Desain pertama kali dikenakan Gubernur dan jajarannya. Dengan motif full lampung, ketika menghadiri Open House, istri Gubernur Ny Trully memintanya mendesain baju batik untuk PKK Lampung.
“Dari situ banyak pemesan yang datang ke rumah dan meminta mendesain sesuai keinginan mereka. Dari dari situ juga banyak motif yang berkembang,“ katanya.
Tahun 2009, batiknya dikenakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menghadiri acara Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Lampung. “Saat itu, Pak SBY benar-benar memakai batik saya, Gabovira,” ujar Gatot sambil tersenyum.
Ciri khas batik Gatot, kainnya bermutu tinggi seperti katun, sutra, sutra alat tenun mesin, dan sutra alat tenun bukan mesin. “Jenis batik yang kami punya ada 3: tulis, cap (printing), dan motif full Lampung. Untuk harga per potongnya mulai dari Rp75 ribu-Rp1,3 juta, bergantung pada jenis bahannya,” terangnya.
Tahun 2012, batiknya dikenakan para menteri dalam event nasional. “Orang banyak tahu dari media cetak lokal maupun nasional dan media elektronik. Dari situ mulailah batik Gabovira dikenal di masyarakat luas. Banyak tamu dari luar negeri ke sini membeli batik,” kata dia.
Sekarang, Gatot memiliki 7 cabang usahanya yakni di Metro, Pahoman, Gedung Dekranasda Lampung, Enggal, Anjungan Lampung, lantai II Mall Chandra, dan Mall Boemi Kedaton. Beberapa gerai juga ada di Jawa. Ia memiliki karyawan di Pemasaran Galeri Pusat 6 orang, di toko cabang di Lampung 12 orang, di Pulau Jawa 22 orang.
Ia juga memiliki mitra kerja sebanyak 40 ibu rumah tangga yang dibinanya membuat batik tulis tempatnya di Pinangjaya, Kemiling. “Saya ingin menjadikan Kemiling sebagai pusat batik tulis khas Lampung. Dengan ini saya bisa membantu pemerintah mengembangkan ekonomi masyarakat,” kata dia.
Selain di Pinangjaya, Gatot memiliki tiga tempat usaha batik tulis di Kemiling. Mengingat maraknya oknum yang menjiplak desain batiknya, Gatot memaparkan kepada masyarakat. ”Semua produk yang kami keluarkan di bawahnya pasti ada nama kain batik dan nama perusahaan kami, Gabovira,” kata dia.
Gatot memberikan motivasi. “Lakukan usaha mulai dari niat, jangan ikut-ikutan orang, harus fokus dan punya konsep. Belajarlah dengan otodidak apa pun itu agar kita tahu skill kita di mana dan potensi kita apa. Jujur dalam bidang yang kita geluti,” kata Gatot yang lahir di Surabaya tahun 1966 ini.
Batik kini bukan lagi milik masyarakat Jawa. Sejumlah daerah sudah mulai menunjukkan kreasinya, termasuk Lampung. Walaupun bukan suku Lampung, Gatot membantu pemerintah untuk mempromosikan Lampung sampai ke mancanegara lewat batiknya” Gabovira.(*)
Laporan Dewi Suaibah, Kontributor Jejamo.com