Jejamo.com, Kota Metro – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Metro melaksanakan rapat paripurn pembicaraan tingkat II tentang pengambilan keputusan atas raperda Kota Metro tentang pengelolaan cagar budaya, raperda tentang tata cara penyusunan program pembentukan peraturan daerah, dan raperda tentang pemberdayaan dan perlindungan tenaga kerja lokal.
Wali Kota Metro, Wahdi Siradjuddin, dalam sambutanya mengatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, memberikan kewenangan dan tanggung jawab kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pengembangan cagar budaya.
“Kota Metro sendiri sangat lekat sekali dengan sejarah masa kolonisasi di Indonesia berkepentingan untuk melestarikan cagar budaya dengan mempertahankan nilai dan ciri khas cagar budaya,” kata Wahdi.
Oleh karena itu, sebagai daerah otonom yang mempunyai kewenangan untuk mengatur, pemkot perlu menetapkan strategi dan sekaligus merumuskan kebijakan dalam melakukan pengelolaan, perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya di wilayah Kota Metro agar warisan dan kekayaan serta identitas budaya masyarakat Kota Metro dapat terjamin keberadaanya sesuai bentuk dan muka aslinya.
“Dengan berlakunya Perda Pengelolaan Cagar Budaya ini, diharapkan dapat memberikan kepastian hukum sekaligus menjadi pedoman dalam upaya pengelolaan dan pelestarian cagar budaya di Kota Metro,” paparnya.
Wahdi menjelaskan, pembentukan perda merupakan bagian dari pembentukan peraturan perundang-undangan negara Republik Indonesia. Perda adalah produk hukum yang dibentuk oleh pemerintah daerah dan DPRD.
“Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan,” jelasnya.
Menurutnya, perda sebagai instrumen penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, selain harus mampu menampung kondisi khusus atau ciri khas masing-masing daerah juga harus ditempatkan dalam konteks penjabaran peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Mengingat pentingnya peran perda sebagaimana yang disebutkan di atas, maka perlu adanya penyusunan program pembentukan peraturan daerah yang baik sehingga peraturan daerah yang dihasilkan oleh daerah tersusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.
“Berdasarkan hal tersebut di atas, maka diperlukan suatu perda yang memuat ketentuan mengenai tata cara penyusunan program pembentukan perda. Sehingga Propemperda yang ditetapkan bersama oleh pemda dan DPRD merupakan Propemperda yang baik dan taat terhadap asas peraturan perundang-undangan,” terangnya.
Wahdi menuturkan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengamanatkan bahwa tentang tata cara penyusunan program pembentukan peraturan daerah perlu ditindaklanjuti dalam bentuk sebuah peraturan daerah.
Perda ini diharapkan dapat menjadi pedoman pengusulan program pembentukan peraturan daerah sejak masih dalam tahapan usulan perangkat daerah pemrakarsa sampai dengan usulan resmi pemda atau inisiasi resmi DPRD yang selanjutnya ditetapkan dalam sebuah rapat paripurna DPRD.
Wahdi menambahkan, mengenai raperda tentang pemberdayaan dan perlindungan tenaga kerja lokal sangat diperlukan demi terwujudnya peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja lokal dalam menghadapi persaingan global.
“Tentu hal ini dapat membuat peningkatan kesempatan kerja dan keseimbangan yang kompetitif antara kebutuhan tenaga kerja dan ketersediaan lapangan kerja, serta penggunaan tenaga kerja lokal pada lapangan kerja yang ada di Kota Metro,” tambahnya.(*)[Anggi]