Jejamo.com, Bandar Lampung – Guru Bimbingan Konseling kebanyakan dipersepsikan sebagai “polisi sekolah”. Padahal, layanan guru Bimbingan Konseling sangat banyak dan konseling siswa bermasalah hanya salah satu bagian kecil.
Psikolog Lampung yang juga dosen Jurusan Bimbingan Konseling FKIP Universitas Lampung Shinta Mayasari bercerita, saat menjadi konselor sekolah, ia pernah diminta melakukan razia.
“Saya menolak karena ini tugasnya wakil kepala sekolah, bukan tugas kami sebagai konselor. Kalau guru Bimbingan Konseling yang asli, pasti paham wilayah kerjanya. Jadi, image polisi sekolah tidak nempel di guru Bimbingan Konseling. Bayangkan kalau siswa menganggap guru Bimbingan Konseling itu polisi sekolah yang menghukum siswa, bagaimana mereka akan terbuka,” ujarnya kepada jejamo.com via percakapan Facebook, Senin, 2/5/2016.
Ia mengatakan, peran guru Bimbingan Konseling perlu dioptimalkan. Mereka perlu melakukan sosialisasi ke pihak sekolah untuk merekrut guru khusus Bimbingan Konseling.
“Sebab, banyak yang bukan asli guru Bimbingan Konseling. Kalau yang benar-benar, pasti proaktif ke siswa, termasuk bimbingan pencegahan masalah-masalah siswa,” ujarnya.
Shinta mengatakan, dirinya pernah menjadi konselor sekolah. Ia kemudian memanggil semua siswa tanpa terkecuali hanya untuk “say hello” dan berbincang ringan.
“Saya tanamkan bahwa kehadiran saya di sekolah untuk membantu. Akibatnya, setiap jam istirahat, siswa-siswa malah datang ke ruangan untuk curhat. Dengan metode yang tidak menilai atau menyalahkan siswa, saya bisa menjadi teman mereka dan melakukan intervensi dini,” pungkasnya.
Kesuksesan pendidikan anak di sekolah, kata dia, juga bergantung pada kepiawaian guru Bimbingan Konseling dalam mengarahkan siswa.(*)
Laporan Adian Saputra, Wartawan Jejamo.com