Jejamo.com – Tiga tahun lalu, batu bacan dan sejenisnya booming di Indonesia. Dengan harga hingga ratusan juta rupiah, mendadak banyak orang melakukan jual beli batu. Kini, tren batu mulia juga melanda Australia, yaitu batu opal. Permintaan yang meningkat, membuat opal menjadi booming di Negeri Kanguru.
Mengutip dari BBC, Jumat, 30/6/2017, seorang penambang bernama Craig Stutley, 45 tahun, bersama temannya Richard Saunders berburu menggali opal di tanah merah hingga kedalaman 12 meter di Coober Pedy.
Kedua pria itu tidak menghiraukan tubuhnya berselimut debu di tengah pedalaman Australia Selatan, yang terpanggang sinar matahari, demi mendapatkan opal, batu permata langka yang bisa berkilauan mirip pelangi dengan warna berbeda-beda.
Mereka mencari tanda-tanda opal dengan tidak berhenti mengebor kedalaman tanah, demi menghasilkan banyak uang. Ya, opal Australia dikenal sebagai yang terbaik dengan harga lebih dari 600.000 poundsterling. Bila dikonversi ke rupiah setara Rp10,3 miliar (estimasi kurs Rp17.288/GBP).
Mahalnya opal, karena batu mulia tersebut memang langka. Bahkan ketika sudah menggali ladang opal yang ditunjuk, bukan berarti langsung menemukan benda yang diidam-idamkan. Butuh kesabaran dan keberuntungan untuk mendapatkannya. Karena pencarian ini bisa memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
“Untuk mendapatkannya, anda harus berpikir positif. Jika tidak, anda tidak akan bisa bekerja,” kata Stutley berbagi pengalamannya sebagai penggali opal. Mereka berdua menambang sepetak tanah 15 mil sebelah utara kota Coober Pedy, yang dikenal sebagai “ibu kota opal dunia”.
Australia Selatan sendiri dikenal sebagai pemasok 80% opal dunia, dimana industri ini berpusat di Coober Pedy, kota dengan penduduk sekitar 3.500 orang yang terletak 850 mil atau 1.368 kilometer dari utara Adelaide.
Penambangan opal sudah berlangsung 40 tahun yang lalu, dimana ribuan penambang rela untuk tinggal di kota ini, yang pada musim panas bisa mencapai 47 derajat celcius. Menurut pemerintah Australia Selatan, pada tahun lalu, kota ini mendulang AUD15,1 juta atau 9 juta poundsterling dari penjualan opal. Adapun tren permintaan opal datang dari India, China, dan Amerika Serikat.
Dan baru-baru ini sekitar puluhan penambang lainnya mulai berburu ke Shell Patch Reserve, wilayah terlarang yang dihuni oleh penduduk asli Aborigin setempat. John Dunstan, wakil presiden Asosiasi Penambangan Opal Australia, salah satu yang pertama bekerja di Shell Patch, mengatakan setiap penambang yang menemukan sepotong opal digaji sekitar AUD5.900 alias Rp60 juta (estimasi kurs Rp10.218/AUD)
Dunstan menambahkan ada pepatah bagi penambang opal, dimana saat anda menemukan opal pertama, maka anda tidak akan berhenti untuk mengejar opal. Bagi Dunstan, ia sudah menggali opal sejak usia 14 tahun pada tahun 1965. “Menambang opal adalah gairah dan gaya hidup untuk saya,” tukasnya.
Justin Lang, 27, salah satu penambang baru dan rekan bisnisnya, Daniel Becker, 43, memulai usaha opal sejak lima tahun silam. Becker menyebut menambang opal sebagai hobi yang sangat menghasilkan uang. Dan bagi mereka, menambang opal tidak seperti lazimnya perusahaan besar Australia yang lebih tertarik untuk menambang tembaga dan uranium. “Menemukan opal terlalu tidak biasa dalam bisnis besar,” kata Lang.
Maraknya opal, salah satunya tidak lepas dari butik-butik kenamaan dunia, dimana Dior belum lama ini mengeluarkan koleksi perhiasan terbaru dengan menggunakan opal. “Setiap opal benar-benar berbeda. Karena setiap opal memiliki warna yang berbeda dan pola yang berbeda, dan sangat menyihir,” kata Emily Amey, perancang perhiasan berbasis di New York, Amerika Serikat, dimana sumber opalnya dari Australia.(*)