Jejamo.com – Maraknya kasus dugaan penipuan berkedok agama, seperti yang dilakukan Gatot Brajamusti dan Dimas Kanjeng Taat Pribadi dimata Akademikus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, dinilai sebagai gejala penghormatan yang berlebihan atau kultus.
“Ini disebut sebagai kultus yang dipimpin penipu, orang yang menyalahgunakan kepercayaan orang lain kepadanya,” kata Azyumardi, Kamis, 29/9/2016.
Azyumardi menjelaskan, pengkultusan masih terjadi di masyarakat karena terjadi krisis karakter. Banyak yang menempuh jalan instan dalam menyelesaikan masalah, seperti utang piutang, ambisi politik, dan jabatan.
Muncul penipu dengan menciptakan kultus untuk membangun karisma melalui penampilan, kepintaran berbicara, dan retorika menggunakan argumentasi agama. “Membuat orang-orang percaya atau taklid buta sehingga merasa yakin dengan hal-hal yang too good to be true, seperti menggandakan uang,” ujarnya.
Azyumardi menambahkan, solusi yang bisa dilakukan untuk menangani hal itu adalah penindakan hukum yang tegas kepada pemimpin kultus yang melakukan penipuan dan pelecehan seksual.
Selain itu, pendidikan karakter sejak dini yang dimulai dari keluarga untuk pemahaman agama yang benar tentang apa yang perlu diyakini. “Apa-apa yang perlu menggunakan akal sehat,” tuturnya.
Gatot Brajamusti selama ini dikenal sebagai guru spiritual para selebritas dan pengusaha. Biduanita Reza Artamevia dan aktris Elma Theana pernah menjadi murid Gatot di Padepokan Brajamusti. Setelah tertangkapnya Gatot untuk kasus penggunaan narkotik oleh Kepolisian Resor Mataram, terungkap pula dugaan praktek ritual seks yang dilakukannya selama ini. Dia disebut memperdayai korban dengan sabu-sabu, kemudian melakukan pesta seks.
Sementara Dimas Kanjeng Taat Pribadi dituduh melakukan penipuan uang dan pembunuhan santrinya. Modus penipuan yang dilakukan Taat adalah penggandaan uang. Kepada polisi, Taat mengaku bisa menggandakan uang dengan ilmu yang dimilikinya. Namun Taat gagal menunjukkan keahlian itu di hadapan polisi.(*)
Tempo.co