Jejamo.com, Kota Metro – Dinamika Pilkada Kota Metro 2024 kian mengerucut jelang pendaftaran di KPU. Hingga kini, Wahdi Siradjuddin menjadi calon kuat tanpa lawan berarti pada pemilihan yang akan berlangsung pada 27 November mendatang. Sebagai calon petahana, Wahdi digadang-gadang berpasangan dengan Ahmad Mufti Salim, Ketua DPW Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Provinsi Lampung yang pada Pilkada 2020 silam maju sebagai calon wali kota.
Masuknya nama Mufti Salim dalam bursa bakal calon wakil wali kota Metro 2024 membuat sebagian warga teringat politik identitas yang digunakannya pada Pilkada 2020 lalu. Saat itu, Mufti yang berpasangan dengan Saleh Chandra, kerap menggunakan surjan dan blangkon, pakaiannya resmi adat Jawa bagi laki-laki, ketika turun berkampanye menemui masyarakat.
Tak heran jika kemudian warga menolak Mufti pada Pilkada 2024. Mereka khawatir gaya yang sama kembali digunakan dalam kampanye sehingga memunculkan polarisasi di tengah masyarakat. Hal itu seperti disampaikan AB (36), warga Yosorejo, Metro Timur.
“Terus terang kalau Mufti Salim kembali masuk di Pilkada Metro tahun ini, kami menolak. Dia pakai politik identitas pada Pilkada 2020 lalu, bikin kesal. Dia bawa-bawa pakaian seperti itu, seolah enggak menghargai budaya lain. Sekarang dia mau masuk lagi, ya kami gak mau,” ujar AB, Rabu, 21/8/2024.
AB menilai, kondisi masyarakat Kota Metro yang majemuk akan terpolarisasi dengan kampanye politik yang menonjolkan identitas budaya tertentu. “Di Metro masyarakat sudah hidup dengan tenang, jangan timbulkan bibit perpecahan karena tujuan politik,” katanya.
Hal senada disampaikan WD (37), warga Hadimulyo Barat, Metro Pusat. Ia mengaku tak suka dengan pilihan branding politik Mufti yang menampilkan identitas Jawa pada Pilkada 2020, dan dikhawatirkan pola tersebut akan kembali dilakukan.
“Waktu itu (Pilkada 2020) dia sosialisasi pakai blangkon, baju adat Jawa, di poster, di gambar, keliling ke mana-mana begitu. Yang dia lupa, ini Lampung, masyarakatnya juga sudah beragam, jadi gak perlu yang begitu untuk dapat suara. Lagi pula, lebih baik putra asli Kota Metro yang mimpin kota ini,” ucapannya.
Pegiat sejarah dan budaya Lampung, Arman AZ, pernah mempersoalkan calon kepala daerah yang kerap menunggangi idiom budaya lain untuk memperoleh simpati mata pilih pada pilkada lalu.
“Mereka pikir masyarakat mudah kepincut dengan kostum berbau etnis. Minim wawasan. Calon-calon itu tanpa sadar telah membelah masyarakat di tempatnya,” terang Arman.
Ia meminta para calon kepala daerah, sebagai publik figur memiliki komitmen untuk melestarikan budaya lokal. “Yang terpenting mereka menampilkan komitmen dan upaya konkret terhadap pelestarian budaya lokal, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung,” tekannya.(*) (Abid)