Rabu, Desember 18, 2024

Top Hari Ini

Terkini

Ini Hasil FDG DPD RI dan Fakultas Hukum Unila Soal Amandemen UUD 1945

Alirman Sori. | Dokumentasi

Jejamo.com, Bandar Lampung – Tim Kerja Kajian Politik Ketatanegaraan DPD RI dalam rangka penguatan kelembagaan DPD RI mengadakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Amandemen UUD NRI 1945 Sebagai Koreksi Arah Perjalanan Bangsa”.

Kegiatan yang dilaksanakan pada tanggal 17-19 November 2021 itu bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Kegiatan ini merupakan bagian dari program kerja yang nantinya hasil FGD ini diramu dan disusun dalam bentuk rekomendasi mengenai amandemen UUD NRI Tahun 1945.

Dalam sambutannya, Ketua Tim Kerja Kajian Politik Ketatanegaraan DPD RI, Dr. H. Alirman Sori, S.H., M.Hum., M.M. menyampaikan harapan terhadap forum ini bisa melahirkan gagasan-gagasan yang dapat membuka kesempatan seluas-luasnya bagi anak bangsa yang berkualitas untuk menjadi pemimpin bangsa.

Disampaikannya, dalam sejarah pelaksanaan amandemen UUD NRI Tahun 1945 yang telah berjalan 20 tahun, sudah banyak dihadapi berbagai permasalahan ketatanegaraan.

Antara lain pertama, menyangkut pedoman dasar pembangunan nasional.

Kedua, masalah kewenangan DPD yang diatur baik dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3.

Ketiga, masalah pencalonan presiden dan wakil presiden yang diatur baik dalam Pasal 6a UUD NRI Tahun 1945 maupun pengaturan lebih lanjut dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

“Berbagai permasalahan tersebut memuat substansi yang memengaruhi arah perjalanan bangsa dan negara dalam mencapai tujuan Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu agenda sangat penting dilakukan evaluasi,” terang Alirman, Kamis (18/11).

Dari ketiga masalah tersebut, lanjut Alirman, Tim Kajian Politik Ketatanegaraan mengharapkan masukan dan pandangan dari para pakar/akademisi yang memiliki kompetensi kepakaran dalam bidang ketatanegaraan.

Ia mengatakan, amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang telah dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) menghasilkan berbagai materi baru.

Di antaranya, pengalihan paham “Supremasi MPR” ke “Supremasi Konsitusi”, pengukuhan check and balances antar cabang kekuasaan negara, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, pemberdayaan lembaga perwakilan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), pembentukan lembaga perwakilan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), dan pembentukan lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman baru Mahkamah Konstitusi dan lembaga dengan ruang lingkup tekait kekuasaan kehakiman Komisi Yudisial.

Adapun yang masuk pada agenda amandemen ke-5 UUD NRI 1945 di antaranya menyangkut pedoman dasar pembangunan nasional.

“Dalam hal ini muncul permasalahan yang bermuara pada perdebatan publik di tengah masyarakat, utamanya di kalangan perguruan tinggi, mengenai efektivitas Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), serta dinamika pembangunan nasional dan daerah, sehingga memunculkan wacana Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN),” bebernya.

Kemudian, pemilihan umum (pemilu) serentak pada tahun 2019 menghasilkan catatan penting dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang mengatur mengenai ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold) bagi partai politik peserta pemilu yang berbeda dari ketentuan pemilu sebelumnya, yakni sebesar 4% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan suara kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

“Selain itu terkait materi pencalonan presiden dan wakil presiden yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dalam Pasal 222, mengatur ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20% yang tidak sejalan dengan prinsip demokrasi, bahkan merugikan hak konstitusional para tokoh nasional yang berpotensi memiliki kapasitas menjadi presiden,” bebernya.

Disampaikannya juga terdapat beberapa catatan dari kegiatan Focus Group Discussion (FGD) ini. Pertama penyederhanaan partai politik menuju sistem multipartai sederhana, dengan menghapuskan presidential
threshold dan memperkuat parliamentary threshold.

Kedua, mengurangi kekuasaan DPR RI di bidang legislasi yang sepenuhnya melekat di DPR RI melalui pemberian kewenangan kepada parlemen untuk menolak (veto) atau mengembalikkan rancangan undang-undang atau menunda pembahasan dan penataan kekuasaan DPR RI dilakukan melalui membentuk Undang-Undang, hak-hak DPR RI dan struktur DPR, mengurangi fungsi DPR RI terkait fungsi penegakan hukum dan pengawasan.

Ketiga, mempertegas kekuasaan presiden, melalui otoritas presiden dalam pembentukan cabinet berupa mengangkat kabinet reshuffle, dan pemberhentian menteri, serta pembatasan jabatan presiden sebanyak 2 periode.

Keempat, memperkuat hubungan antara Presiden dan DPR RI-DPD RI dengan perimbangan kekuasaan, mempertegas sistem check and balances dan mempertegas sistem pemerintahan presidensial.

Selain itu, masih kata dia, kegiatan FGD tersebut juga menghasilkan beberapa kesimpulan.

Pertama perubahan konstitusi merupakan keniscayaan untuk mengakomodasi kebutuhan, tuntutan serta perubahan dinamika hukum masyarakat.

Kedua, arah perubahan mengombinasikan “pesan” original intent dengan kebutuhan faktual.

Ketiga, agenda perubahan dapat
mengoreksi perubahan UUD NRI Tahun 1945 yang sudah dilakukan sebelumnya, namun bukan hanya nostalgia.

Keempat, rambu-rambu perubahan konstitusi: tidak parsial, antisipasi pelebaran tanpa alasan, melibatkan publik dan terbuka ke media massa, bersandar pada dasar negara dan tujuan negara, konsensus bangsa, dan doktrin konstitusi. []

Populer Minggu Ini