Jejamo.com- Setiap orang tua tentunya ingin memiliki anak yang sehat dengan tumbuh kembang yang baik dan gizi tercukupi. Bagaimana caranya? Tentunya dengan makan! Anak harus makan banyak dan dihabiskan. Nasi, buah, sayur, susu dan vitamin yang dijadwalkan pada jam-jam tertentu setiap harinya. Apakah benar demikian?
Sayangnya banyak orang tua yang masih melakukan kesalahan-kesalahan seperti itu dalam mengatur pola makan si kecil. Hasil penelitian terkini yang dimuat dalam jurnal Pedriatics menyebutkan bahwa 2 dari 3 orang tua masih mengharuskan anaknya menghabiskan apa yang ada di piring. Pada penelitian lain juga disebutkan, 85% orang tua mengaku melakukan berbagai cara agak anaknya makan lebih banyak, baik dengan cara bujukan, paksaan, atau bahkan dengan imbalan makanan lain.
Kesalahan pola makan di atas sayangnya telah menjadi kebiasaan pada kebanyakan keluarga. Akibatnya, banyak anak yang tidak dapat mengenali tanda-tanda internal pada tubuhnya yang menunjukkan apakah ia lapar atau kenyang. Bahayanya, pola makan seperti itu kelak akan terbawa hingga ia dewasa. Seiring bertambahnya usia, metabolisme akan menjadi lebih lambat. Kebiasaan menghabiskan apa yang ada di piring ini dikhawatirkan akan menyebabkan kelebihan berat badan.
Bagi orang tua, kebiasaan ini umumnya didasari oleh keinginan melihat anak lebih gemuk, atau bahkan sekadar perasaan sayang membuang makanan. Tak sedikit yang memaksakan beberapa suapan lagi meskipun anak sudah berkata kenyang. Jika isi piring habis dilahap, ada perasaan puas dan berhasil sebagai orang tua yang baik. Padahal di balik kepuasan saat itu tersembunyi kebiasaan buruk yang akan terus dibawa sang anak hingga ia dewasa.
Memaksa anak makan makanan sehat dengan iming-iming seperti permen atau coklat sesudahnya juga bukan langkah yang bijak. Pertama, menurut Castle dan Jacobsen, penulis buku Fearless Feeding, hal ini cenderung membuat permen dan coklat itu tampak semakin menarik dan menantang di mata anak. Maka kemudian ia akan menginginkannya lagi dan lagi. Kedua, jika anak dipaksa menghabiskan sayur baru kemudian boleh makan coklat, maka sayur akan menjadi lebih menyebalkan baginya. Ia akan merasa bahwa makan sayur adalah hukuman dan coklat adalah imbalan.
Selain itu, orang tua juga perlu menahan diri untuk terus menjejalkan makanan, apalagi memaksakan anak untuk makan sesuatu. Ini bisa mengakibatkan anak trauma dengan makanan tertentu. Hasil penelitian menyebutkan, 72% orang dewasa yang saat kecilnya dipaksakan sebuah makanan, menjadi selamanya menolak makanan tersebut.
Lalu bagaimana solusinya? Hal yang paling mendasar adalah, penting untuk memperkenalkan anak akan konsep lapar dan kenyang. Dengan demikian ia bisa tahu kapan saatnya makan dan kapan harus berhenti makan.
Kreativitas juga sangat diperlukan dalam merangsang nafsu makan anak. Cobalah menu-menu baru, atau sajikan sesuatu yang manis sebagai makanan penutup, yang tentunya dalam porsi anak-anak. Ini akan membuat mereka semangat menghabiskan makanan utamanya. Kemudian, sesekali libatkan anak di dapur. Ajak ia memutuskan apa yang akan dimakan dan seberapa banyak porsi untuknya.
Jika Anda masih khawatir tentang anak yang malas makan, coba periksa kebutuhan kalori berdasarkan umurnya. Misal, untuk anak usia 8 tahun yang aktif, dibutuhkan 1400-1600 kalori per hari. Periksa asupan makanannya apakah sudah mencukupi atau belum. Jika sudah terpenuhi, maka Anda tidak perlu khawatir meskipun badannya tidak segemuk anak-anak lain seusianya.
Terakhir namun tak kalah pentingnya, orang tua juga perlu lebih santai. Percayalah bahwa anak Anda tidak akan membiarkan dirinya sendiri kelaparan. Berhenti membandingkan dengan anak orang lain, karena setiap anak mempunyai kebutuhan yang berbeda. Jangan sampai memaksa anak makan dengan menggunakan ancaman seperti “Habiskan! Lihat anak-anak Afrika yang mati kelaparan di luar sana!”, karena memaksa anak menghabiskan makanannya toh tidak akan menyelesaikan masalah kelaparan di dunia. (*)