Jakarta, Jejamo.com – Anggota Komisi XI DPR RI, Junaidi Auly memberikan peringatan kepada pemerintah untuk mewaspadai ancaman dual defisit yang akan terjadi pada akhir tahun.
“Defisit transaksi berjalan dan APBN menjadi fenomena yang perlu diwaspadai, terutama dengan kemungkinan membengkaknya defisit APBN di akhir tahun,” kata Junaidi di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (21/11/2019).
Legislator Fraksi PKS tersebut menjelaskan pada Triwulan III-2019, transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit sebesar USD 7,6 miliar, besarnya defisit ini perlu diwaspadai terlebih fundamental perekonomian Indonesia yang belum kokoh dan rentan external shock yang terus berlanjut.
Politisi dari Dapil Lampung ini pun meminta kepada pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia untuk mewaspadai potensi melebarnya dual defisit ini yang dapat berakibat negatif pada perekonomian Indonesia.
“Defisit APBN ini dapat semakin lebar, mengingat kegagalan Pemerintah mendorong tax ratio selama lima tahun terakhir, dan terjadinya deindustrialisasi prematur di Indonesia,” kata Junaidi.
Junaidi menambahkan, pada kuartal III-2019, industri pengolahan hanya mampu tumbuh 4,15 persen, dan kontribusinya pada PDB nasional menurun menjadi 19 persen, padahal 30 persen penerimaan pajak Indonesia berasal dari industri pengolahan.
“Data menunjukkan, pertumbuhan penerimaan pajak, periode Januari-Oktober 2019, dari industri pengolahan tercatat negatif 2 persen, padahal pada tahun 2018 tumbuh 12 persen, hal ini pada akhirnya akan memperbesar shortfall perpajakan di tahun 2019,” kata Junaidi.
Junaidi menambahkan, hingga Oktober realisasi defisit sudah mencapai Rp289 triliun atau 1,8 persen PDB, padahal kesepakatan di APBN hanya sebesar 1,84 persen. Hal ini menunjukkan pemerintah belum memiliki perencanaan anggaran yang cukup matang.
Hal lain yang menjadi catatan Junaidi adalah kebutuhan penerbitan utang baru di akhir tahun anggaran.
“Realisasi belanja masih tersisa 22 persen, dengan realisasi defisit yang sudah terlampau besar, maka dikhawatirkan Pemerintah akhirnya terpaksa menerbitkan utang baru di akhir tahun untuk menambal peningkatan defisit,” kata Junaidi.
Junaidi mengatakan, dengan menerbitkan utang baru artinya pemerintah dan sektor keuangan akan merebutkan likuiditas yang saat ini sudah terbatas.
“Hal ini pada akhirnya akan mendorong naik suku bunga investasi dan pada akhirnya memberikan dampak negatif pada sektor riil,” katanya. []