Jejamo.com, Bandar Lampung– Kepala Dinas Kominfotik Provinsi Lampung Chrisna Putra, mengatakan, pihaknya tidak bisa serta merta melakukan penutupan aplikasi angkutan umum berbasis online.
Hal itu dikatakannya menanggapi tuntutan ratusan masa aksi angkutan umum untuk menutup aplikasi dan tidak mengizinkan angkutan berbasis online di Lampung. “Ini kewenangan pemerintah pusat. Kami bisa memfasilitasi untuk menyampaikan ke Menkominfo bahwa di Lampung juga ada permasalahan karena angkutan online,” ujarnya di ruang rapat Kominfo saat audiensi dengan P3ABL, Selasa, 19/9/2017.
Chrisna menegaskan, aplikasi tersebut bisa digunakan secara nasional setelah mendapat persetujuan dari Menkominfo. “Kami tidak bisa membuka tutup. Kami hanya bisa memonitor, yang bisa menutup hanya pemerintah pusat,” tegasnya.
Sementara itu Kabid Lalulintas dan Angkutan Dishub Provinsi Lampung Andriyanto Wahyudi, menjelaskan, terkait perizinan taksi online berdasarkan Permenhub nomor 26 tahun 2016. “Dasar hukumnya sebelum diberlakukan dari kawan-kawan taksi online di Jakarta mengajukan ke Makamah Agung, ada beberapa hal digugat seperti tarif, plat dan lain-lain. Kemudian, dikabulkan MA,” terangnya.
Ia mengatakan, pemerintah sudah menyiapkan dasar hukum kemudian digugat. Sehingga akhirnya, dasar hukum tersebut mengambang sehingga perizinannya sulit diproses.
Ia mengatakan, pihaknya sudah meminta Pemerintah Provinsi Lampung melakukan antisipasi dengan menetapkan kouta dan tarif kouta serta membatasi jumlah taksi online di Kota Bandar Lampung. “Saat ini sudah tidak terkendali keberadaan taksi online. Sepengetahuan saya, satu pengemudi tidak hanya satu aplikasi taksi online tapi bisa saja dia memakai beberapa aplikasi. Ini menjadi dasar kesulitan bagi angkutan konvensional,” ujarnya.
Dia menambahkan, dari Kemenhub telah melakukan revisi Permenhub 26 sehingga harapannya untuk mengendalikan taksi online tersebut sekarang masih proses. Pihaknya sedang menunggu dasar hukumnya, setelah dasar hukumnya keluar bisa saling jaga antara taksi online dan angkutan konvensional.
“Kalau Go-jek pada prinsipnya sama dengan ojek konvensional. Keduanya roda dua tidak ada dasar hukum, karena roda dua tidak dikenankan untuk angkutan umum, dan ini juga diusulkan untuk roda dua diakomodir tidak menimbulakan masalah, karena jumlah yang banyak saat ini Go-Jek, itu sudah kami kami bicarakan untuk roda dua diatur, agar tidak timbul yang sama di daerah,” pungkasnya.(*)
Laporan Andi Apriyadi, Wartawan Jejamo.com