Senin, November 11, 2024

Top Hari Ini

Terkini

Keterlibatan Perempuan di Lampung Masih Minim dalam Menentukan Kemandirian Pangan

Kegiatan diskusi menghadirkan Tokoh Female Food Hero dari Dipasena Erna Leka, Solidaritas Perempuan Lampung Umi Laila, Kepala Bidang Pertanian dan Holtikultura Eko Dyah dan dipandu oleh akademisi dari Fakultas Pertanian Unila Wuryaningrum DS | ist
Kegiatan diskusi menghadirkan Tokoh Female Food Hero dari Dipasena Erna Leka, Solidaritas Perempuan Lampung Umi Laila, Kepala Bidang Pertanian dan Holtikultura Eko Dyah dan dipandu oleh akademisi dari Fakultas Pertanian Unila Wuryaningrum DS | ist

Jejamo.com, Bandar Lampung –  Keterlibatan perempuan masih minim dalam menentukan keputusan kemandirian pangan. Demikian benang merah yang bisa diambil dari diskusi perempuan, keadilan pangan dan media yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandar Lampung, Selasa,  25/4/2017.

Kegiatan diskusi menghadirkan Tokoh Female Food Hero dari Dipasena Erna Leka, Solidaritas Perempuan Lampung Umi Laila, Kepala Bidang Pertanian dan Holtikultura Eko Dyah dan dipandu oleh akademisi dari Fakultas Pertanian Unila Wuryaningrum DS.

Menurut Koordinator Solidaritas Perempuan Lampung Umi Laila mengatakan di desa nelayan Teluk Betung Bandar Lampung, perempuan selain mendapat upah minim juga mendapat perlakuan diskriminasi dalam menentukan makanan yang harus dikonsumsinya. “Mereka sadar betul bahwa menerima ketidakadilan pangan tetapi hanya diam karena ketidakmampuan untuk mendapatkan hak yang sama,” katanya.

Solidaritas Perempuan memberi pendampingan kelompok perempuan nelayan, petani dan buruh migran yang ada di Lampung untuk mendapatkan haknya.

Kondisi ini berbeda dengan kelompok perempuan petambak di Bumi Dipasena Kecamatan Rawajitu Kabupaten Tulangbawang Provinsi Lampung yang sudah mandiri dalam menentukan nasibnya setelah berpisah dari perusahaan.

Erna Leka peraih Female Food Hero mengatakan petambak perempuan sudah bisa melakukan tebar mandiri dengan menerapkan sistem gotong royong.”Kami tidak mendapat perlakuan yang berbeda, hak yang sama seperti laki-laki yang kami terima,” ujarnya.

Kondisi ini menurutnya berbeda saat bekerja sama dengan perusahaan, petambak perempuan seperti dimanja dengan sejumlah fasilisitas seperti pengadaan sembako.

Tetapi kenyataanya, hutang menumpuk meskipun petambak bisa memproduksi lebih dari 1 ton per bulan.”Setelah perusahaan pergi dari Dipasena, kami bangkit dan menentukan nasib sendiri. Meskipun, produksi kami tidak lebih banyak dari sebelumnya, tetapi kami makmur dan bebas menentukan nasib sendiri,” tutupnya.(rilis)

Laporan Andi Apriyadi, Wartawan Jejamo.com

 

Populer Minggu Ini