Jejamo.com, Bandar Lampung – Mbah Kliyem ia biasa disapa. Dia hanya bisa menerka umurnya sudah lebih dari satu abad. Bertahun-tahun Mbah Kliyem tinggal di gubuk reyot di tengah kebun karet di Dusun Rengas, Desa Jati Indah, Kecamatan Tanjungbintang, Kabupaten Lampung Selatan.
Kondisi Mbah Kliyem sungguh memprihatinkan. Di usianya yang sudah sepuh, tinggal di gubuk yang hanya dibangun menggunakan papan dan geribik, Mba Kliyem masih harus mengurus anak bungsunya Ngadimun (30) yang mengalami gangguan jiwa. Ia ditinggal suami yang wafat karena sakit puluhan tahun silam. Dua anaknya yang lain pergi entah ke mana.
Kondisi rumah Mbah Kliyem tak jauh berbeda dengan nasibnya. Tak ada aliran listrik, jika malam datang penghuninya hanya mengandalkan lampu teplok. Lantainya masih tanah dan hanya diisi perabot satu tempat tidur dengan kasur tak layak pakai serta satu meja makan.
Bagian tengah tempat tinggal Mbah Kliyem disekat sekenanya dan dijadikan tempat tidur putranya yang sakit jiwa. Bagian dapur telihat hitam karena Mbah Kliyem acap memasak menggunakan kayu bakar yang ia cari sendiri. Alat masaknya pun tampak menyedihkan.
Lalu bagaimana wanita tua ini bisa menyambung hidup? “Ada saja orang kasih makan setiap hari. Ada juga yang kasih beras jadi dimasak pakai kayu bakar,” ujar Mbah Kliyem dengan nada khas orang tua saat Jejamo.com berkunjung ke kediamannya beberapa waktu lalu.
Dia juga mengaku kerap menerima pemberian saudaranya yang tinggal tak jauh dari kebun karet tempat gubuknya berdiri. Bantuan juga kadang datang dari orang yang merasa iba dengan kondisinya.
Ada rasa getir saat melihat Mbah Kliyem masih bisa tersenyum di tengah segala keterbatasannya. Meski matanya tak lagi awas, Mbah Kliyem tetap bersyukur karena ia masih bisa berjalan dan pendengarannya masih berfungsi cukup baik.
“Saya tinggal di sini sejak suami sudah enggak ada. Rumah ini numpang sama adik, saya cuma nempatin aja,” katanya.
Mbah Kliyem praktis hanya hidup dari belas kasih orang-orang di sekitar tempat tinggalnya. Lasiem (47), salah satu warga yang tinggal tak jauh dari tempat Mbah Kliyem, bercerita bahwa Mbah Kliyem sempat tinggal di Kalimantan. Baru kemudian pindah ke Lampung setelah suaminya meninggal.
“Mbah sama anaknya dijemput adiknya untuk tinggal di sini. Mungkin di sana enggak ada yang urus. Dua anaknya yang lain enggak ikut ke sini, bahkan sampai sekarang enggak pernah datang,” ujar Lasiem.
Dia membenarkan jika setiap hari ada saja warga warga sekitar yang memberikan bantuan. “Selain saudaranya, kadang ada warga sini yang kasih makan. Ada juga yang kasih duit atau sembako,” tuturnya.
Aktifitas sehari-hari Mbah Kliyem hanya mencari kayu bakar untuknya memasak. “Kalau anaknya cuma main-main aja karena sakit jiwa,” ungkap Lasiem.
Lastri (38), warga lainnya, berharap ada pihak yang mau memberi bantuan bagi Mbah Kliyem dan anaknya. “Saya kasihan lihat kehidupannya, harus tinggal dengan anaknya yang sakit jiwa. Saya sering kasih nasi dan sayur matang, kadang beras juga. Saya berharap ada orang yang mau kasih bantuan,” katanya.(*)
Laporan Andi Apriyadi, Wartawan Jejamo.com