Jejamo.com, Bandar Lampung – Aisyah Ria Sari, mualaf asal Lampung, bercerita, mendapat hidayah dari Allah sejak berumur empat tahun karena sering mendengar kumandang azan subuh. Namun, tamparan berkali-kali mesti ia rasakan begitu sang ayah tahu Aisyah memeluk Islam.
“Sebelumnya saya Nasrani. Tetapi anehnya, perasaan saya tenang saat mendengar azan subuh. Terkadang juga saya sering melihat jamaah salat di masjid, bahkan sampai mempraktekkan salat di rumah diam-diam,” kata Aisyah saat diwawancarai jejamo.com via telepon, Sabtu, 11/6/2016.
Seiring berjalannya waktu, niat Aisyah menjadi memeluk Islam semakin besar. Akhirnya saat masuk SMEA Negeri (sekarang berubah menjadi SMKN 4), Aisyah mencoba memberanikan diri menghadap kepala sekolah guna membimbingnya untuk membacakan dua kalimat syahadat.
“Kemudian kepala sekolah memanggil guru agama SMEA negeri tersebut, almarhum Narsuning untuk mengislamkan saya. Selanjutnya saya dibawa ke Kantor Kanwil Kementerian Agama Kota Bandar Lampung. Di sana saya membaca dua kalimat syahadat,” ungkapnya.
Meskipun Aisyah sudah mengikuti kata hatinya untuk memeluk agama Islam, dirinya masih belum berani berterus terang ke keluarga besarnya.
Namun, setelah dua tahun menyimpan rahasia dengan memeluk agama Islam dari keluarga besarnya, keluarga mengetahui jika dirinya memeluk Islam melalui tetangga yang melaporkan langsung ke ayahnya.
Setelah mengetahui anaknya memeluk Islam, sang ayah dengan wajah garang menunggu Aisyah pulang dari sekolah untuk mengetahui kebenaran dari laporan tersebut.
Sesampainya Aisyah di depan rumah, benar saja, tanpa banyak bicara, sang ayah menamparnya berkali-kali. Tidak sampai di situ saja, merasa dirinya dalam kondisi tidak nyaman, Aisyah mencoba berlari dari sang ayah yang telah diselimuti amarah.
“Waktu itu ayah sudah gelap mata. Saat mencoba berlari untuk menghindari tamparan bertubi-tubi itu, ayah mengejar saya dengan memegang batu untuk memukulkannya ke kepala saya. Alhamdulillah saya diselamatkan oleh tetangga saya bernama Pak Ali,” jelasnya.
Aisyah kemudian bisa hidup satu rumah lagi dengan keluarga besarnya. Hal itu disebabkan pertolongab Ali yang menyelamtkan dirinya. Ali menemui ayah Aisyah sembari berkata, jika terjadi lagi kekerasan pada Aisyah, dirinya akan membawa permasalahan ini ke hukum.
” Dari sana saya bisa tinggal satu rumah lagi dengan keluarga besar. Meskipun begitu, suasana rumah berubah total, karena tidak ada lagi canda tawa seperti biasanya. Pihak keluarga juga mendiamkan saya,” ujarnya.
Saat Aisyah kuliah di UBL semester III, dia  memutuskan keluar dari rumah.
“Saya ingin melaksanakan Islam yang sesungguhnya. Senang dan susah saya tanggung sendiri,” ujarnya.
Meski demikian, Aisyah tidak pernah membenci keluarganya.
“Agamaku agamuku, agamu agamamu. Islam sudah mendarah daging dengan saya. Insya Allah sampai meninggal tetap islam. Saya tidak tergoda dengan urusan duniawi,” ungkapnya.
Sayang, saat jejamo.com meminta foto dirinya, Aisyah menolak dengan halus.
“Untuk foto, saya belum bersedia. Informasi saja ya,” ujarnya.(*)
Laporan Arif Wiryatama, Wartawan Jejamo.com