Jejamo.com – Perang saudara di Suriah dalam beberapa hari ini banyak terfokus di Aleppo, kota besar kedua setelah Damaskus. Kondisinya semakin buruk karena banyak warga sipil yang menjadi sasaran senjata kedua pihak.
Dalam dua hari ini menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) satu nyawa melayang dalam setiap 25 menit dan satu orang luka-luka setiap 13 menit hingga Senin, 2/5/2016.
Sementara dalam pertempuran pada sepekan sebelumnya, 200 orang tewas.
Krisis Suriah tak memperlihatkan tanda-tanda akan segera berakhir. Keadaan di Aleppo semakin memburuk setelah perundingan damai Suriah di Geneva, Swiss, menemui jalan buntu.
Aleppo telah menjadi target serangan koalisi Rusia dan Suriah. Rusia melancarkan serangan udara, sedangkan Suriah melakukan serangan darat. Meski kedua negara itu mengklaim serangan mereka menarget kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), basis-basis oposisi moderat yang didukung koalisi AS justru telah menjadi korban.
Tidak terkecuali rumah sakit yang dikelola oleh lembaga amal medis, Dokter Tanpa Batas (MSF). Rabu, 27/4/2016, Rumah Sakit Quds yang didukung Komite Palang Merah Internasional (ICRC) dan rumah sakit yang dikelola MSF hancur dibombardir Rusia.
Mobilisasi serdadu yang disusul dengan pertempuran sengit di Suriah utara menandai berakhirnya gencatan senjata yang telah berlangsung sejak Februari silam.
Dengan mandeknya perundingan damai di Geneva, perang tiga sisi antara pemerintah, oposisi, serta ISIS kembali memanas. Namun, di Aleppo, pertempuran itu melibatkan oposisi dan pemerintah.
Tokoh oposisi Suriah di Aleppo menyatakan, kota itu diyakini akan menjadi medan perang terbesar.
Mayor Jamil Saleh, salah satu komandan Tentara Pembebasan Suriah (FSA), mengatakan, pasukan rezim Damaskus sedang mempersiapkan penambahan personel, persenjataan, dan amunisi untuk menghadapi perang terbuka di Aleppo.
Saleh mengklaim, pihaknya menjawab manuver Assad dengan mengirimkan pasukan ke Aleppo. Ia menyebut serangan udara dan artileri oleh pasukan pemerintah terhadap Aleppo sebagai persiapan menjelang operasi militer berskala besar.
“Perang akan berkecamuk lebih dahsyat. Saya kira kita akan menyaksikan eskalasi kekerasan sebelum perundingan damai bisa dimulai” tutur Hilal Khashan, pakar politik di American University di Beirut.(*)
Kompas.com