Jejamo.com, Kota Metro – Sumartono nampak duduk termangu di atas sepedanya. Ia menepi di sisi trotoar Jalan Imam Bonjol Kota Metro. Tatapannya kosong. Entah pikirannya sedang melayang ke mana. Lalu lalang kendaraan yang menghempaskan debu jalanan tidak digubris. Tak pula membuyarkan lamunannya.
Pagi itu, Rabu, 30/8/2023, koran di keranjang sepedanya tersisa sedikit lagi.
Sumartono, biasa disapa Pak Tono, lelaki 60 tahun yang masih setia bekerja serbagai loper koran. Hampir seumur hidupnya habis di jalanan; mengantar koran dari satu pelanggan ke pelanggan lain.
“Saya sudah lama jadi loper koran, sudah 53 tahunlah kira-kira, dari zaman saya masih kelas 1 SD. Kebetulan saya juga enggak tamat sekolah, cuma sampai kelas 5 aja kalau enggak salah,” kisahnya.
Lantaran tak lulus sekolah dasar, Pak Tono merasa terbatas dalam mengais rezeki. Namun, bukan berarti dia tak bersyukur. “Percaya rezeki sudah ada yang ngatur, dan rezeki bukan selalu soal uang kok. Ya termasuk kesehatan, ketenangan dan bahagia, kan itu rezeki juga namanya,” ujarnya.
Upah sebagai loper koran digunakan untuk makan bersama istri dan anaknya. Meski jumlahnya tak seberapa, Pak Tono tetap bersyukur atas jatah pendapatannya itu.
“Upah ngantar koran-koran ini sebulan Rp800 ribu. Lumayanlah, cukup untuk makan bertiga sama anak istri. Kebetulan agen korannya masih keponakan saya, Suranto namanya. Alhamdulilah dia juga sering bantu saya. Nah, rezeki juga kan itu namanya? Punya bos, tapi masih keponakan sendiri dan baik,” katanya lagi sembari tertawa.
Usia membuat rambut-rambutnya nampak memutih, tetapi bukan berarti dia pasrah dengan keadaan. Demi menambah penghasilan, Pak Tono rela kerja serabutan. Kadang menjadi buruh, di waktu luang memelihara burung dara untuk dijual.
“Ya apa ajalah kerja mah, yang penting halal dan ada duitnya. Saya di rumah pelihara burung dara, rumah saya di Jalan Batanghari, Yosorejo. Itu burung-burung saya itu ada kalau 30 ekor. Itu biasanya saya jual kalau sudah pada besar. Kamu mau enggak? Nanti saya kasih sepasang, gratis kok,” tawarnya.
Tak muluk-muluk, Pak Tono hanya ingin melihat anak laki-laki semata wayangnya lulus sekolah. Itu sudah lebih dari cukup baginya.
“Cari duit ya untuk hidup, buat makan. Saya cuma kepingin anak saya tamat sekolah, itu dulu. Syukur-syukur kalau bisa sampai kuliah. Supaya nanti kalau sudah dewasa, dia bisa lebih maju dari saya,” harapnya.
Banyak jenis pekerjaan yang tergilas majunya zaman. Loper koran salah satunya. Seperti mesin tik yang di era kini menjadi barang antik.
Di tengah masifnya arus informasi lewat gawai, pembaca koran sudah jauh berkurang. Alhasil, rutinitas Pak Tono tak seperti dekade dulu. Namun, ia percaya rencana Tuhan yang terbaik. Apabila hasil tidak pernah mengkhianati proses, maka rezeki akan selalu datang menyertai mereka yang tak mudah berpatah arang, seperti Pak Tono; loper koran yang tak pernah menyelesaikan sekolah di tingkat paling bawah. (*) (Anggi)