Jejamo.com, Bandar Lampung – Pilkada serentak akan digelar di 270 daerah, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Namun, dalam tahapan pelaksanaannya menjadi dilematis dan riskan karena perkembangan dan penyebaran Covid-19.
Melihat fakta tersebut curva Pandemi Covid-19 di Indonesia terus meningkat, per 15 September 2020 Gugus Tugas menyebutkan sebanyak 3.507 kasus baru dengan total keseluruhan 225.030 kasus positif. Bahkan di Lampung mengalami lonjakan yang begitu tajam dari hari ke hari, terakhir bertambah 39 kasus baru sehingga total 654 kasus positif.
Kondisi ini sangat rentan untuk dilaksanakan pilkada serentak dengan melihat data yang ada sejumlah kasus yang terdampak terus naik hingga hari ini meskipun berbagai imbauan dan larangan serta peraturan untuk tetap menjalankan protocol kesehatan secara ketat.
Faktanya di lapangan masih banyak yang kurang memperhatikan dan melaksanakan protokol kesehatan. Pembatasan jumlah peserta pilkada yang hadir dalam kegiatan kampanye tak menjamin protokol kesehatan dipatuhi. Hal itu berkaca pada kerumunan massa yang melakukan arak-arakan terjadi pada tahapan pendaftaran pencalonan meski KPU mengatur pembatasannya dan imbauan massa tak melakukan konvoi juga sudah disampaikan
Secara Hukum ada beberapa Aturan Hukum yang membahas tentang penundaan pilkada yang pertama di dalam UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 tahun 2020, pada Pasal 120 ayat (1) menyatakan bahwa “Dalam hal pada sebagian wilayah pemilihan, seluruh wilayah pemilihan, sebagai besar daerah, atau seluruh daerah terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, bencana nonalam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagaian tahapan penyelenggaraan Pemilihan atau Pemilihan serentak tidak dapat dilaksanakan, dilakukan pemilihan lanjutan atau pemilihan serentak lanjutan.”
Pasal ini menjelaskan jika ada bencana nonalam mengakibatkan tahapan pilkada tidak dapat lanjut dilaksanakan, maka penundaan bisa dilakukan, frasa dari isi pasal 120 yaitu “bencana nonalam” penambahan ini sangat esensial karena pandemi Covid-19 ini sudah dinyatakan sebagai bencana nonalam berdasarkan keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional.
Namun permasalahan selanjutnya adalah penetapan penundaan pilkada yang harus disetujui anatara KPU, Pemerintah dan DPR sebagaimana dalam Pasal 122A UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 tahun 2020 yang menyatakan bahwa:
1) Pemilihan serentak lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12O dilaksanakan setelah penetapan penundaan tahapan pelaksanaan Pemilihan serentak dengan Keputusan KPU diterbitkan.
2)Penetapan penundaan tahapan pelaksanaan Pemilihan serentak serta pelaksanaan Pemilihan serentak lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Hal tersebut menjadi kemunduran bagi kemandirian KPU sebagai penyelenggara pemilihan. Dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada, penetapan pilkada dalam skala lokal menjadi kewenangan KPU daerah. Surat Keputusan dikeluarkan oleh KPU, namun sebelum menjadi dasar Surat Keputusan itu harus persetujuan bertiga antara Pemerintah dan DPR yang menyebabkan kewenangan peneyelenggara pemilu terkunci, hal tersebut merupakan suatu kemunduran dari sifat kemandirian KPU.
Saat ini KPU telah menetapkan pendaftaran bakal calon kepala daerah pada tanggal 4-6 September 2020, tahapan kampanyekan dimulai pada 26 September hingga 5 Desember sebanyak 71 hari. KPU membagi masa kampanye calon kepala daerah ini dengan tiga fase. Fase pertama yakni kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, dialog, penyebaran bahan kampanye kepada umum pemasangan alat peraga dan/atau kegiatan lain. Fase kedua, KPU akan menggelar debat public/terbuka antar pasangan calon Sebagian bagian dari kampanye calon kepala daerah. Fase ketiga, KPU akan membuka kampanye calon kepala daerah melalui media massa, cetak, dan elektronik. Dari ketiga tahapan-tahapan tersebut berpotensi menimbulkan kluster baru dalam Pilkada 2020.
Dengan belum terkendalinya penyebaran Covid-19 bahkan jauh dari kata berakhir hingga saat ini, maka penundaan tahapan pilkada hal yang paling tepat. Apabila tahapan pilkada tetap dilanjutkan potensi meningkatnya kasus Covid-19 semakin tidak terkendali atau menjadi kluster pilkada, sehingga berpotensi terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia. Diantaranya yaitu
1.Hak untuk hidup, yang dijaminkan dalam Pasal 28A UUD 1945, Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Polik (Diratifikasi dengan UU Nomor 12 Tahun 2005).
2.Hak atas kesehatan, yang pengaturan jaminannya ditetapkan dalam Pasal 28H UUD 1945, Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 12 ayat (1) Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Diratifikasi dengan UU Nomor 11 Tahun 2005), dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
3.Hak atas rasa aman, menekankan kewajiban negara atau pemerintah untuk memberikan jaminan atas perlindungan diri, kehormatan, martabat, dan hak milik. Kewajiban tersebut tertuang dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, Pasal 29 dan Pasal 30 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
LBH Bandar Lampung melihat penundaan Pilkada sangat diharuskan melihat situasi dan kondisi Indonesia saat ini, agar Penyelenggara Pemilu Daerah di Provinsi Lampung dan Pemerintah Daerah menyampaikan pengusulan penundaan pilkada kepada Pemerintah Pusat. Hal itu sangat dibutuhkan dalam mengambil keputusan untuk mementingkan kepentingan hidup masyarakat daripada mementingkan kepentingan Partai Politik, Kontestan dan Pihak Terkait dalam Pemilihan Kepala Daerah. Jika Pilkada masih dipaksakan maka HAK ASASI MANUSIA yang dipertaruhkan, Hak Atas Hidup, Hak Atas Sehat dan hak rasa aman yang tidak dijamin oleh negara. Demikian rilis yang diterima redaksi Jejamo.com.(*)