Jejamo.com – Lantaran minim wanita di negaranya, banyak pengusaha pria di Cina yang rela merogoh kocek hingga ribuan dolar untuk mencari istri idaman di Siberia. Mereka mencari wanita berkulit putih dan bermata biru untuk dijadikan istri.
Sejumlah foto-foto yang dirilis dari sebuah tur para bujangan tersebut tampak lebih seperti pertemuan bisnis. Tapi, agen pernikahan Rusia yang menyelenggarakan tur tersebut mengaku sukses dalam membantu klien mereka menemukan pasangannya.
Pada sebuah tur terkini di Novosibirsk, kota terbesar di Siberia, lima orang bujangan kaya raya asal Cina menghadiri sebuah pertemuan yang digelar oleh Elena Suvorova, kepala agen pernikahan, OCD Centre.
Seharusnya ada delapan pria yang menghadiri pertemuan tersebut, tapi tiga lainnya bertahan di Khabarovsk, tempat pertemuan sebelumnya digelar, karena mereka telah menemukan wanita yang mereka inginkan untuk dinikahi.
Cina memang mengalami surplus pria karena di negara itu ada 120 pria untuk setiap 100 wanita dengan selisih 34 juta pria lebih banyak daripada wanita.
Sebaliknya di Rusia, ada 85 pria untuk setiap 100 wanita, dan pada sesi-sesi pertemuan yang dilakukan dalam tur bujangan yang sangat pupuler ini, para pengusaha Cina diperkenalkan dengan sekitar 25 wanita berusia di bawah 35 tahun.
Suvorova menjelaskan, bagi seorang wanita Rusia hal ini seperti sebuah hadiah. Para pria ini ingin menikah dan membangun sebuah hubungan yang serius. “Semua wanita yang diundang berusia di bawah 35 tahun. Awalnya, para pria ini ingin mendapatkan pasangan berkulit putih dan bermata biru.
Suvorova juga memuji sikap para pria Cina kaya tersebut terhadap wanita. “Para pria ini memperlalukan wanita dengan rasa hormat,” katanya.
Ketidakseimbangan jenis kelamin di Cina disebabkan oleh “kebijakan satu anak” yang diterapkan di negara itu sehingga para orang tua cenderung menggugurkan kandungan jika diketahui si jabang bayi berjenis kelamin wanita.
Sementara ketidakseimbangan demografi di Rusia disebabkan oleh banyaknya anggota Tentara Merah yang tewas semasa Perang Dunia Kedua.(*)
Tempo.co