Minggu, November 10, 2024

Top Hari Ini

Terkini

OPINI: Membaca Kembali UU Pers, Menghidupkan Hak dan Kewajiban Koreksi

Ilustrasi. | Ist

Oleh Hisna Caca Hayati

Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Lampung

Pada 5 September 2017 lalu, terdapat sebuah kasus hukum yang berkaitan dengan kegiatan pers. Direktur Penyidik KPK Brigjen Aris Budiman melaporkan tentang pencemaran nama baik kepada pihak kepolisian.

Laporan itu dilayangkan Aris terkait wawancara eksklusif di acara Aiman Kompas TV dengan narasumber koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Donald Fariz. Dalam wawancara itu, diduga terdapat konten yang melanggar Pasal 45 ayat 3 juncto Pasal 27 ayat 3 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan atau Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik dan Fitnah. Kasus ini menarik untuk dikaji.

Awalnya Aris ingin menjerat media yang memberitakan. Tetapi kemudian hanya ingin menjerat narasumber, terkait dengan pernyataan narasumber pada saat diwawancara oleh Aiman. Terlepas dari bagaimana akhir kisahnya, kasus ini merupakan contoh tarik-menarik antara UU ITE dan UU Pers.

Sejatinya, kegiatan pers di Indonesia memiliki regulasi khusus. Regulasi yang mengatur pers di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Di sisi lain, munculnya UU ITE membuat kedua regulasi ini seolah tumpang tindih. Memang, terlihat ada celah untuk mengkriminalisasi narasumber dengan alasan pencemaran nama baik. Namun, bila dilihat dari bagaimana narasumber menyampaikan informasi atau opininya, maka lain ceritanya.

Sebelumnya telah disebutkan, kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Dalam kasus ini, mewawancarai narasumber menjadi bagian dari kegiatan jurnalistik.

Sehingga, narasumber, media pers, dan isi pemberitaan menjadi satu kesatuan. Maka, sengketa terhadap informasi yang disampaikan harus menggunakan UU Pers.

Sementara, jika dibawa ke ranah UU ITE pada pasal pencemaran nama baik dan hanya menjerat narasumbernya saja, maka ini jelas merupakan bentuk kriminalisasi. UU ITE baru dapat diterapkan jika pernyataan yang diduga sebagai pencemaran nama baik, dilakukan di luar kegiatan jurnalistik. Misalnya, lewat akun pribadi yang bersangkutan.

Untuk menyelesaikan permasalahan dalam dunia pers, UU Pers memuat soal hak tolak, hak jawab, hak koreksi, dan juga kewajiban koreksi. Hak tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.

Hak jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Kewajiban koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.

Empat hal ini yang sepertinya harus diingat kembali orang wartawan dan dipahami oleh masyarakat Indonesia. Pihak yang merasa dirugikan oleh sebuah pemberitaan yang dihasilkan dari kegiatan jurnalistik, harusnya melaporkan hal tersebut ke Dewan Pers. Kemudian, menyampaikan koreksi.

Dewan Pers sebagai lembaga yang menjembatani penyelesaian konflik yang berkaitan dengan kegiatan jurnalistik harus proaktif. Seperti yang tertera pada pasal 15 UU Pers, Dewan Pers diberi amanah untuk mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

Oleh karena itu, Dewan Pers seharusnya berperan sebagai”orangtua” yang mengayomi lembaga pers dan wartawan.

Sekiranya informasi yang disampaikan ternyata terdapat kekeliruan, lembaga pers tidak boleh abai terhadap kewajiban koreksi. Mungkin kekeliruan yang dilakukan sangat sederhana. Namun, sedikit kekeliruan dalam menghimpun dan menyampaikan informasi, bisa saja menghancurkan hidup orang lain.(*)

Populer Minggu Ini