Oleh: M Imron Rosyadi
Ketua DPC PKS Kemiling
Ide tulisan ini muncul setelah sekitar 50 menit melihat dan mendengarkan nasihat-nasihat singkat Cak Nun via chanel Youtube.
Khususnya pada topik-topik yang menyindir tentang makna kesyukuran, kepedulian dengan orang lain dan hakikat kehidupan.
Selesai melihat dan mendengarkan nasihat-nasihat tersebut, entah kenapa di benak ini muncul tiga kata, anehnya bila ketiganya disambungkan membentuk satu frase yang saling berkaitan. Tiga kata tersebut adalah miskin, layak, dan beradab.
Setelah kurang lebih 10 menit merenungkannya, kami mencoba menuangkan dalam sebuah ide dan gagasan, semoga ada manfaat yang dapat kita peroleh.
Kita mulai dari sini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis Januari 2018, angka kemiskinan Indonesia per September 2017 mencapai 26,58 juta orang. Angka kemiskinan turun dibanding periode sama 2016 yang mencapai 27,77 juta orang.
Akan tetapi, jika dihitung berdasarkan standar Bank Dunia, jumlah orang miskin di Indonesia diperkirakan lebih banyak dari yang dirilis BPS. Pasalnya, dalam menghitung angka kemiskinan, BPS menggunakan garis kemiskinan sebesar Rp 387.160 per kapita per bulan.
Sementara itu, garis kemiskinan Bank Dunia adalah sebesar USD 1,9 per hari, atau setara Rp 775.200 per bulan (kurs 13.600).
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) merilis, jika diukur dengan standar Bank Dunia, maka angka kemiskinan bisa lebih dari dua kali lipat, yaitu bisa mencapai 70-an juta orang.
Bila kita mengacu pada standar BPS Indonesia, seseorang atau sebuah keluarga dikatakan miskin apabila memenuhi 14 kriteria ini
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 meter persegi per orang
2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan
3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah tangga lain.
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/ air hujan.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak tanah
8. Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam dalam satu kali seminggu.
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/ dua kali dalam sehari
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/ poliklinik
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 500 meter persegi, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp600 ribu per bulan
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/ tidak tamat SD/ tamat SD.
14. Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan minimal Rp500 ribu seperti sepeda motor kredit/ non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
Jika minimal 9 variabel terpenuhi maka suatu rumah tangga miskin.
Bila kita mengaju pada Islam, penentuan seseorang atau keluarga yang dikategorikan miskin akan dilihat dari seberapa jauh terpenuhinya kebutuhan pokok atau konsumsi nyata yang meliputi: pangan, sandang, pemukiman, pendidikan dan kesehatan.
Konsumsi nyata ini dinyatakan secara kuantitatif (dalam bentuk uang) berdasarkan hanya pada tahun tertentu. Kebutuhan pokok merupakan kebutuhan yang sangat penting, guna kelangsungan hidup manusia.
Islam menganggap kemiskinan sebagai suatu masalah yang memerlukan penyelesaian, bahkan merupakan bahaya yang wajib diperangi dan diobati.
Usaha-usaha mencari penyelesaian perlu dilakukan, tetapi ini bukan berarti kita menafikan qada’ dan qadar Allah SWT terhadap setiap makhluk-Nya. Di antara prinsip Islam, setiap permasalahan ada penyelesaiannya. Setiap penyakit ada obatnya.
Dia yang menjadikan penyakit, dan Dia jugalah yang mencipta obatnya. Jika kemiskinan ditakdirkan oleh Allah SWT, maka pembebasan dari belenggu kemiskinan juga merupakan takdir Allah SWT juga.
Kembali ke pokok gagasan. Melihat data kemiskinan di Indonesia baik yang mengacu pada data BPS dan Bank Dunia. Kemudian mencoba mengkaitkan dengan cara pandang Islam melihat kemiskinan dan hakikat dalam menjalani kehidupan.
Muncul sebuah pemikiran mendasar untuk secara bertahap merubah kondisi individu maupun kelompok yang masuk dalam kategori miskin, naik beranjak menuju kondisi layak dan pada akhirnya bisa tergolong menjadi individu maupun kelompok yang beradab.
Pertama sekali yang harus sama-sama kita lakukan adalah merubah mindset atau cara pandang orang-orang yang tergolong dalam kelompok miskin tersebut.
Cara pandang tentang dalamnya melihat setiap takdir kehidupan serta luasnya hati dalam memaknainya.
Saat ini kita boleh miskin harta, namun kita tidak boleh miskin jiwa.
Hanya dengan jiwa yang kaya dan lapang, maka energi positif dan sikap optimisme akan hadir untuk menaklukan setiap fase kehidupan yang menurut sebagian orang berat untuk di hadapi.
Bila kita tanya, siapa manusia yang tidak ingin hidup layak, dan bahagia? Kita semua tentu bersepakat, tidak akan ada, karena dari mulai anak kecil hingga dewasa pasti ingin merasakan hidup yang lebih baik
Tapi ingat, yang harus jadi pemahaman bersama, bahwa rasa senang dan bahagia itu bersifat unconditional. Kedua rasa itu bisa muncul tiba-tiba dan menghilang begitu saja. Tergantung seperti apa yang ada dalam pikiran kita saat itu.
Sedikit mengutip beberapa nasihat Cak Nun, bahwa setiap kondisi ataupun takdir yang kita alami, disana banyak terdapat hikmah dan rizki yang Allah SWT berikan kepada kita.
Ketika kita sedang diberi kesempatan untuk mendapatkan rezeki yang banyak, contoh bonus kerjaan sedang naik, laba dari usaha sedang bagus, saat itulah Allah SWT sedang memberikan rizky kepada kita berupa kesenangan dan kebahagiaan. Namun ingat disana pula Allah SWT sedang memberikan rizky kepada kita berupa hikmah untuk senantiasa bersyukur, rendah hati dan tidak sombong.
Sebaliknya, apabila kita sedang diberi kesempatan untuk berada dalam kondisi yang kurang menyenangkan, contoh uang hilang, ditipu orang, dagangan sepi dan rugi. Disanalah Allah SWT sedang memberikan rizky kepada kita berupa hikmah untuk senantiasa mematangkan jiwa, berproses menjadi orang yang bersabar dan senantiasa mengevaluasi diri.
Disinilah kekuatan sikap berperan.
Bila mengutip syair legendaris dari Imam Syafi’i siapapun dan dalam kondisi apapun kita saat ini, tentu akan ada energi positif yang kita dapatkan.
Beliau berkata: ” Biarkan dunia berlaku semaunya, yang terpenting pastikan hati dan diri ini ikhlas ketika takdir itu datang.
Jangan takut akan kelamnya malam, karena peristiwa duniawi tak ada yang abadi.”
Hidup senang dan bahagia itu sebenarnya relatif tidak sulit. Hal yang membuat sulit adalah kadangkala kita sudah membuat benteng terlebih dahulu, sehingga bahagia sulit untuk datang.
Tahap selanjutnya setelah cara pandang kelompok masyarakat yang tergolong miskin tadi berubah. Energi positif dalam memaknai kehidupan telah mampu mensupplay fisik untuk bergerak dan bertindak, naik ke step berproses meningkatkan kemampuan dalam menjalani kehidupan kearah yang lebih baik, di sinilah fase dari miskin ke layak bekerja.
Pada dasarnya, setiap manusia Allah SWT berikan perangkat-perangkat dan sumber daya yang sangat memadai untuk menghadapi tantangan kehidupan.
Secara individual, setiap manusia dimodali pencipta berupa fisik yang sempurna, jiwa yang mampu merasa serta akal yang bisa mencerna.
Secara sosial, manusia ada karena peran manusia yang lainnya. Setiap individu pasti memiliki keluarga, saudara, teman dan kolega
Dua hal tadi, aset individu dan sosial adalah modal berharga yang dimiliki setiap manusia untuk meningkatkan taraf hidupnya ke arah yang lebih baik.
Bila dua modal dasar ini bisa diatur dengan baik, maka insya Allah Allah proses merubah kondisi miskin menjadi layak adalah persoalan yang mudah untuk diselesaikan.
Belum lagi bila Negara berperan dengan benar dan maksimal dalam masalah ini, tentu saja angka-angka kemiskinan yang disajikan di awal, dalam waktu tidak sampai 5 tahun bisa diselesaikan
Bila bercermin pada sejarah keemasan Daulah Umayyah, di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada masa pemerintahan beliau –meski hanya sekitar dua tahun setengah- tapi mampu membuat hidup rakyatnya aman dan sejahtera.
Mengenai hal ini, Zaid bin Khathab misalnya menceritakan kemakmuran di masa Khalifah yang dikenal dengan keadilannya itu. Sedemikan makmurnya hingga menjelang kematian Khalifah Agung ini, ada orang yang kesusahan mencarai mustahiq zakat. Ia pun berkomentar, “(Berkat Allah melalui tangan) Umar bin Abdul Aziz banyak penduduk yang hidup berkecukupan.”(Abdullah bin Abdul Hakam, Sîrah `Umar bin `Abdil `Azîz, 110).
Kita mungkin akan bertanya-tanya bagaimana Umar bin Abdul Aziz mampu mensejahterakan rakyatnya sehingga muzakki menjadi dominan mengungguli mustahiq di seantero negeri
Kondisi demikian sangat berkaitan erat dengan kebijakan strategisnya di sektor ekonomi yang poin-poinnya sebagai berikut.
Pertama, memiliki tujuan ekonomi jelas. Di antara tujuan pengembangan sektor ekonomi yang dicangankan beliau adalah mengembalikan kembali sistem pembagian pemasukan(incom) dan kekayaan negara secara adil; mewujudkan perkembangan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Kedua, untuk merealisasikan tujuan tersebut, di antara langkah-langkah yang dibuat oleh beliau ialah: menciptakan iklim perokonomian yang kondusif, mengikuti pola perekonomian baru serta peduli dalam mengembangkan petani dan dunia pertanian.
Ketiga, membuat kebijakan strategis untuk mengoptimalkan pendapatan negera melalui zakat, jizyah, kharaj (pajak), usyur (bagian sepersepuluh), khumus (bagian seperlima), dan fai (harta yang diperoleh tanpa melalui jalur peperangan).
Sungguh sebuah kebahagiaan, manakala setiap kita mampu bersinergi dan berkontribusi.
Setiap individu, memiliki pemahaman yang baik tentang hakikat kehidupan dan kesyukuran, sehingga optimis menatap masa depan, secara sosial masyarakat saling membantu dan berangkulan, meminimalkan konflik dan mempererat persatuan.
Negara hadir melindungi rakyat dan mengelola aset negeri ini untuk kesejahteraan dan kemakmuran.
Inilah yang dikatakan seperti negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, sebuah negeri yang subur dan makmur, adil dan aman. Dimana yang berhak akan mendapat haknya, yang berkewajiban akan melaksanakan kewajibannya dan yang yang berbuat baik akan mendapat anugerah sebesar kebaikannya. Tidak ada lagi kezaliman
Mari senantiasa berdoa dan berusaha, bahu membahu merubah label miskin menjadi layak, menjadikan masyarakat kita menjadi lebih beradab, sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita kekuatan dan kemampuan menyatukan yang saat ini bercerai berai dalam sebuah kaidah persatuan sehingga Indonesia mampu menjadi salah satu negara kuat yang menjadi inisiator pembangunan peradaban. Wallahu a’lam bish-shawab.(*)