Rabu, Desember 18, 2024

Top Hari Ini

Terkini

Opini Neneng Nurhasanah: Kritik terhadap Budaya Literasi dan Pendidikan

Siswa dan siswi SMK Muhammadiyah Kotaagung. | Zairi

KEDANGKALAN budaya literasi di Indonesia tentunya menjadi sorotan pemerintah. Bahkan negara-negara lain pun mengetahui problematika kurangnya minat baca tulis di tanah pertiwi ini.

Sekolah berperan penting dalam dunia pendidikan. Terutama dalam langkah meningkatkan minat literasi bagi para pelajar.

Literasi pada dasarnya bukan hanya tanggungjawab guru bahasa. Kelompok pembaharuan pendidikan Paedia di Amerika Serikat yang dipimpin Mortimer J. Adler berpendapat, ada sejumlah persyaratan untuk menjadikan literasi sebagai jantung dalam proses pendidikan.

Pertama, keberadaan guru-guru yang memiliki keterampilan berbahasa.

Kedua, daftar dan ketersediaan buku-buku.

Ketiga, adanya jadwal dan waktu yang memadai untuk pelaksanaan program ini.

Budaya Literasi sendiri merupakan budaya membaca dan menulis. Tapi, ini juga tidak terlepaskan dari kemampuan berbicara.

Berdasarkan penelitian dari UNESCO, minat baca masyarakat kini berada di tahap mengkhawatirkan. Sebagai contoh Negara Finlandia, menurut hasil survei, ilmu pengetahuan dan kebudayaan PBB (UNESCO) yang dirangkum dalam laporannya tahun 2016,

Negara tersebut menduduki peringkat pertama dengan tingkat literasinya yang tinggi. Dan sistem pendidikannya yang berkualitas, yang melahirkan guru serta murid-murid berintelektual.

Sedangkan Indonesia hanya peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei. 2012, data dari UNESCO. Indeks tingkat membaca: 0,001. Artinya 1 dari 1000 orang yang gemar membaca.

Melihat survei CNN Indonesia dua tahun yang lalu, Finlandia, Norwegia, Islandia, dan negara-negara yang berada di Eropa Utara memiliki literasi paling tinggi.

Dan di Indonesia juga ada beberapa provinsi dengan literasi dan pendidikan yang tinggi
Yogyakarta: 27,62%
Kalimantan Utara: 16,86%
DKI Jakarta:14,36%

Yogyakarta berada di tingkat pertama dengan budaya literasi yang tinggi. Sesuai dengan julukannya yaitu kota pelajar.

Menurut data Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku sebanyak tiga kali hingga empat kali dalam seminggu dengan menghabiskan waktu 30-60 menit per hari.

Apabila mengingat kondisi literasi di desa-desa terpencil, bnyak di antara mereka yang tak acuh terhadap literasi dan pendidikan.

Kurangnya dukungan orang tua menjadi salah satu pemicunya. Banyak kendala yang terjadi di desa yang mengharuskan pemerintah turun langsung dalam problematika tersebut.

Kurangnya ekonomi, jarak tempuh sekolah yang jauh, akses jalan yang masih terbatas, edukasi terkait literasi dan pendidikannya tidak disalurkan.

Berdasarkan survei yang telah saya jalani, kedangkalan literasi yang paling berpengaruh adalah harga buku yang mahal, peminat membeli buku masih rendah.

Ini Mengakibatkan masyarakat malas membeli buku. Mahasiswa pun banyak yang berpikiran seperti itu. Mereka lebih baik memplagiat dari google untuk pembuatan makalah dan tugas. Semua itu perlu adanya gerakan sosililasi yang khusus untuk menanganinya.

Penulis memberikan beberapa pendapat terkait melestarikan dan meningkatkan budaya literasi dan pendidikan. Di antaranya menanamkan pada diri sendiri agar gemar membaca dan menulis.

Pihak sekolah mengelola anggaran sebaik mungkin untuk memberikan fasilitas literasi. Seperti, lokasi perpustakaan yang nyaman, menambah jumlah buku-buku untuk memadai sarana murid-muridnya.

Kemudian membentuk oraganisasi atau komunitas di bidang literasi di dalam kampus, sekolah, maupun di masyarakatnya sendiri.

Lalu mendirikan taman bacaan di desa-desa dimentori oleh mahasiswa ataupun kepala desanya.

Lalu mengajak kaum milenial untuk membuat konten yang berbasis literasi. Seperti membuat blog, video, artikel, opini, dan lain sebagainya.

Perusahaan-perusahaan besar disarankan membuat sebuah progress terkait beasiswa pendidikan , literasi.

Media massa, seperti koran ataupun lainnya mengajak masyarakat agar membudidayakan literasi melalui lomba puisi, cerpen, karya tulis ilmiah. Ini supaya mereka lebih semangat dalam menerapkannya.

Orangtua memberikan fasilitas buku di rumahnya, supaya anak-anak bisa membacanya.

Memanfaatkan teknologi dengan cara membaca online. Banyak situs dan ebook yang mudah di akses untuk meningkatkan literasi.

“Cara terbaik untuk meningkatkan kualitas karakter, kompetensi dan kesejahteraan hidup seseorang, adalah dengan menanamkan budaya literasi (membaca, berfikir, menulis, berkreasi” ujar Lanang Manggala, penulis dari Indonesia 1993.

Berdasarkan referensi yang diambil dalam buku Pedagogik Kritis, halaman 195, dikemukakan oleh Bambang Wisudo, literasi belum menjadi budaya di kalangan kelas menengah, kaum terdidik, termasuk guru-guru kita.

Seorang guru yang tidak memilki kebiasaan membaca dan mrnulis sulit diharapkan mampu menanamkan budaya literasi pada murid-muridnya.

Daftar ketersediaan buku di sekolah dan kampus masih menjadi problem. Termasuk di sekolah yang memungut bayaran mahal.

Ketersediaan buku bukan hanya karena anggaran, melainkan karena tidak adanya kemauan dan strategi tepat untuk menumbuhkan literasi di lingkungan sekolah maupun kampus.

Banyak buku yang bisa kita baca, mulai dari bacaan yang ringan. Seperti buku fiksi dan nonfiksi. Termasuk dalam kumpulan buku-buku antologi puisi, drama, feature dan biografi, serta filsafat.

Misalnya karya Leo Tolsotoy, Ernest Hemingway, sampai penulis Amerika yaitu Latin Gabriel Garcia Marquez dengan bukunya yang terkenal One Hundred Years of Solitude.

Di pasar pun banyak buku yang menarik, ini bisa merealisasikan budaya literasi. Buku karya Alferd Russel Wallace Kepulauan Nusantara: Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam yang diterbitkan komunitas Bambu (2009) dan buku karya Simon Winchester Krakatau: Ketika Dunia Melrdak bisa menjadi bahan bacaan yang menarik dan sangat mengesankan. Dan melatih ingatan kita terkait sejarah yang mulai tenggelam.

Bahkan menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan dalam pidatonya tentang “Revolusi literasi 4.0” bahwa, “Jangan lupa, dampak literasi untuk cinta dalam belajar, cinta dengan membaca. Itu dampaknya orangtua bisa lebih besar lagi. Dari pada guru.” Paradigma ini tidak perlu di kesampingkan, tidak perlu dikemas agar menjadi berita yang positif.

Kita memasuki paradigma baru dimana semua pemimpin dari kementerian hingga kepala sekolah. Masalah literasi di Indonesia tentunya sangat penting. Ini suatu hal yang serius, yang terpenting especially untuk literasi adalah orangtua.

Orangtua mengajarkan dan membacakan kepada anaknya yang belum bisa membaca. Orangtua lebih banyak mendidik dan guru yang menjadi orangtua di kelas.

Itu bisa mencontohkan literasi dalam lingkungan keluarga agar bisa menjadi sebuah habit. Kita harus memperbaiki paradigma terhadap pendidikan dan budaya literasi anak.

Walaupun banyak di antara kita yang malas untuk membaca. Karena terkadang, kita telah selesai membaca, akan tetapi kita tidak bisa memahami apa yang disampaikan tulisan tersebut.

Bahkan pada halaman-halaman awal perlu kadang diperlukan waktu berjam-jam untuk diskusi. Akan tetapi proses ini penting untuk memberikan dasar yang kuat bagi budaya literasi.

Kekuatan membaca seseorang dipastikan akan luar biasa apabila proses ini dilakukan berulang kali. Di sinilah hakikat pendidikan “memberikan kail, bukan pancingnya.”
(Doziers, Cherly, Johnson, Peter, dan Rogers, Rebecca: 2006) Literasi, sebagaimana dikemukakan Gramsci, merupakan pedang bermata dua yang dapat dipergunakan untuk pemberdayaan diri sendiri atau pemberdayaan sosial tetapi dapat pula menjadi alat untuk melanggengkan represi dan donimasi.

Menjadi “literate” secar kritis berarti seseorang menguasai kemampuan untuk membaca dan mengkritisi pesan-pesan dalam teks untuk memahami dengan lebih baik pengetahuan siapa yang diuntungkan (Coffey, Heather: ).

Dalam budaya literasi perlu adanya pembelajaran yang menarik dan mengasyikan. Perlu adanya kolaborasi. Pembelajaran literasi dalam berbagai media, seperti melalui lagu, video klip, film, dialog, berita, internet tidak kalah pentingnya.

Budaya membaca juga akan lebih massif apabila ada keberanian sekolah untuk memberikan alokasi waktu yang memadai.

Dari saya mengajak untuk wujudkan Indonesia, agar memiliki SDM berkualitas melalui budaya literasi dan pendidikan yang tinggi. Bisa menyaring informasi lebih detail, jangan sampai termakan berita hoax. Terutama sebagai pemerintah, pemudanya, maupun guru-guru.

Kita harus bisa menjamuri masyarakat Indonesia dengan budaya literasi. Perlu diadakan perkumpulan dengan para pegiat literasi, yang nantinya akan menjadi sebuah gerakan literasi.

Serta memberikan Indikator dan akses yang memudahkan seseorang untuk membaca dan menulis. Karena literasi sebagai jantung dalam proses pendidikan.

(Mahasiswa UIN Raden Intan Lampung)

Populer Minggu Ini