Senin, November 11, 2024

Top Hari Ini

Terkini

Opini Ramadan Ade Utami Ibnu: Membersamai Alquran

Ade Utami Ibnu. | Ist
Ade Utami Ibnu. | Ist

“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq: 1-5).”

Ramadan memang bulan istimewa. Selain kaum muslimin diperintahkan untuk berpuasa, pada bulan ini jua Alquran turun  ke muka bumi. Ayat pertama dengan diksi “iqra” menjadi disebut di mana-mana saat para ulama, khatib, dai, penceramah, dan mubalig bercerita soal Nuzulul Quran.

Dan  hebatnya juga, pada bulan Ramadan, intensitas kaum muslimin dengan Alquran juga tinggi. Banyak di antara kita yang kemudian mempunyai target mampu mengkhatamkan Alquran minimal satu kali. Yang sudah lancar dan memang terbiasa dengan kitab suci ini, punya target lebih tinggi. Ada yang mampu khatam tiga kali, bahkan lebih daripada itu.

Ini menunjukkan, Alquran memang punya nilai istimewa bagi umat Islam, wabilkhusus saat bulan Ramadan. Dan ini barangkali tak bakal terjadi pada bulan-bulan lain. Ramadan memang istimewa. Ia mampu mendekatkan hamba dengan penciptanya. Ia juga mampu mengakrabkan hamba dengan kitab suci-Nya. Dengan kata lain, Alquran menjadi salah satu primadona selama Ramadan ini.

Tadarus di banyak masjid dan musala menjadi pemandangan rutin selama Ramadan. Suara lantunan ayat suci bahkan sampai tengah malam kita dengar dari corong-corong pengeras suara masjid dan musala.

Entahlah, apakah fenomena semacam ini bisa kita terus lakoni selepas Ramadan? Dan apakah juga semangat kaum muslimin untuk menadaburi Alquran tetap bisa konsisten di 11 bulan berikutnya. Wallahualam bissawab.

Penulis menilai, kehangatan umat dengan Alquran selama Ramadan adalah sebuah sukacita tersendiri. Namun, itu tentu tidak cukup. Buat penulis, Ramadan mestinya menjadi pemicu agar di bulan lain kita tetap akrab dengan Alquran, hangat dengan ayat-ayatnya, senang menadaburi, serta berupaya mempelajari tafsir dari ayat-ayat itu secara lengkap.

Alquran tentu bukan sebatas kitab yang menjadi bacaan saban hari. Alquran diciptakan agar kita menjadikan semua konten di dalamnya menjadi panduan hidup. Relevansi Alquran dengan konteks kekinian tidak perlu diragukan lagi. Kesahihan dari setiap ayatnya menjadikan kita patut dan perlu untuk mendaraskan aktivitas kita dengan nilai-nilai Alquran.

Barangkali terlampau tinggi jika kita mempunyai keinginan agar umat memiliki pemahaman terhadap Alquran dan menjadikan kitab suci sebagai landasan hidup. Meski itu adalah ideal, kita juga mesti melihat realitas yang ada di masyarakat. Tidak utopis, tapi lebih realistis.

Maka itu, dalam benak penulis, membangun kesadaran kepada umat agar akrab dengan Alquran dalam artian paling kecil, yakni membaca, mesti dilakukan. Sayang jika religiositas umat yang demikian tinggi saat Ramadan kemudian turun ke titik yang paling nadir.

Lantas, apa yang bisa kita lakukan selepas Ramadan, agar intensitas dengan Alquran bisa tetap dijaga?

Pertama, kokohkan peran rumah tangga

Ayah dan ibu menjadi sumber sentral agar rumah tangga selalu benderang dengan lantunan ayat suci Alquran. Anak-anak mulai dibiasakan membaca Alquran setiap hari. Durasi waktunya pun ditetapkan agar target khatam dalam satu bulan bisa tercapai.

Anak jelas mencontoh apa yang mereka lihat. Sulit buat kita menjadikan anak suka dengan Alquran jika orangtuanya saja enggan membuka dan membaca kitab suci. Meski mungkin anak-anak didatangkan guru mengaji privat atau di sekolah mereka sudah membaca Alquran, di rumah tetap ada nuansa yang dibangun.

Misalnya selepas salat magrib sebelum makan malam, disempatkan 10 sampai dengan 15 menit untuk bertadarus. Kita ingin, lantunan ayat Alquran terdengar saban malam di setiap rumah tangga muslim. Tentram rasanya mendengar orang bertilawah di tiap rumah di lingkungan.

Kita mungkin punya target menamatkan bacaan Alquran dalam periode tertentu. Namun, barangkali masih sedikit di antara kita yang mempunyai habit tadarus bersama keluarga. Ke depan, hemat penulis, ini penting untuk dijadikan kebiasaan.

Kedua, kebijakan sekolah

Waktu anak-anak kita sebagian besar dihabiskan di sekolah. Katakanlah masuk jam 07.30 kemudian pulang pukul 13.00. Beberapa sekolah bahkan lebih sore lagi pulangnya untuk keperluan les dan sebagainya. Maka, nyaris separuh hidup anak-anak kita ada di sekolah.

Buat anak-anak yang studi di sekolah berbasis Islam terpadu, barangkali lebih mudah mengarahkannya agar benar-benar intens dengan Alquran. Apalagi seluruh sendi kehidupan dalam sekolah berbasis Islam terpadu memang lekat dengan nilai-nilai agama.

Yang menjadi pekerjaan rumah adalah pada entitas sekolah umum yang mempunyai aturan dan kebijakan sendiri. Ini mungkin tak termasuk sekolah agama yang menginduk pada Kementerian Agama.

Di sekolah umum, sebetulnya bisa saja memberikan porsi sedikit untuk Alquran. Teknis yang paling mudah adalah memberikan waktu kepada siswa muslim untuk bertadarus selama kurang lebih 15 menit sebelum pelajaran pertama dimulai. Ini dilakukan setiap hari dan realistis.

Siswa digilir untuk membaca sementara yang lain menyimak dan memberikan koreksi jika ada bacaan yang salah. Per kelas mesti ada penanggung jawab yang diambil dari siswa yang paling cakap dalam membaca.

Jika ini dilakukan setiap hari, keakraban bersama Alquran juga akan terasa di sekolah umum. Pelajaran tidak kering dari nilai-nilai agama.

Ketiga, penguatan peran Risma dan Rohis

Kawan sebaya kadang punya kans besar untuk mengubah cara pandang atau kebiasaan seorang sahabat. Umumnya, jika ada teladan dari kawan sebaya, proses untuk membersamai Alquran dalam kehidupan, akan semakin besar.

Dalam konteks inilah penulis melihat peran Risma di lingkungan dan Rohis di tiap sekolah menjadi penting. Mereka inilah yang menjadi aktor utama sehingga suasana Qurani tercipta di sekolah dan lingkungan.

Penguatan organisasi terhadap program Alquran ini perlu didukung semua pihak. Para aktivis organisasi perlu mencari langkah yang terencana dan menyenangkan agar kehidupan keberagamaan, wabilkhusus suka membaca Alquran, menjadi budaya dalam masyarakat muslim kita. Wallahualam bisssawab.(*)

* PENULIS ADALAH KETUA FRAKSI PKS DPRD LAMPUNG

Populer Minggu Ini