Oleh: Fitri Restiana
Blogger
Etika dan estetika positif idealnya tak mengenal jarak dan waktu. Sejak dari zaman baheula, kita memiliki tatanan kesantunan yang arif dan matang. Anak-anak dilarang berbicara keras dan harus membungkukkan badan jika berjalan di depan tetua, bertutur sopan, berpakaian santun dan sebagainya.
Sekarang pun, nilai-nilai itu seharusnya tetap begitu. Kenapa? Karena kita memang sudah memiliki standar dan nilai yang luhur dan agung yang harus dipertahankan dengan tegas dan jelas.
Batasan antara etika dan estetika akan tipis bahkan nyaris tak terlihat jika kita belajar menjelajah sejarah bagaimana sejatinya segala nilai dan norma itu terbentuk. Makna filosofis keduanya akan bertemu di satu titik yang disebut dengan peradaban (lengkap dengan adat dan budayanya).
Kesadaran akan pemahaman ini kembali tergugah ketika saya membaca komentar beberapa orang di akun resmi #Miss Grand Internasional tentang kostum #Royal Sigokh yang membalut tubuh Ariska Putri Pertiwi, sang Miss ‘perwakilan’ Indonesia.
Inti pemikiran mereka kurang lebih begini, “Estetika itu masalah rasa, keindahan, sifatnya pribadi dengan tolak ukur personal. Sedangkan etika berhubungan dengan orang banyak, standarnya mayoritas dan akan sulit ketemunya. Jadi, jangan pula dihubung-hubungkan antara keduanya!”
Duh, sebegitu jauhnya kah jarak antara etika dan estetika? Apalagi jika dikaitkan dengan nilai luhur budaya suatu peradaban?
Tapis dan Sigokh adalah perlambang Lampung. Saya tentu merasa bangga melihat keduanya bisa dikenal oleh dunia. Tapi tentu harus disertai dengan memahamkan makna yang terkandung di dalamnya. Ketika salah satu budaya Lampung itu muncul dengan mengabaikan nilai etika, maka bisa dipastikan akan mendapat kecaman banyak pihak.
Sang desainer, Dynand Fariz, mungkin lupa atau memang tak mau belajar memahami makna Tapis dan Siger. Kostum Ariska yang menampilkan belahan hingga nyaris sampai selangkangan itu benar-bear melukai perasaan dan melanggar etika kepatutan.
Bagaimana bisa kekayaan budaya yang agung, mulia dan santun disandingkan dengan sesuatu yang naif, jauh dari norma dan miskin etika? (walaupun ‘katanya’ memiliki nilai estetika yang tinggi). Bagaimana bisa?
Jadi, wajib hukumnya merombak desain Royal Sigokh sebelum ditampilkan pada acara kontes Miss Grand Internasional 2016 di Las Vegas Amerika Serikat! Ingat, kita akan besar dan terhormat jika kita menghargai diri sendiri. Jangan rendahkan dengan tampilan yang mengatasnamakan estetika tapi mengabaikan etika!
Saran saya, jahit bagian yang terbuka setidaknya sampai batas lutut. Hanya satu jengkal tiga jari saja. Maka saya jamin, kita boleh dan layak berbangga sebagai Indonesia!(*)
Semoga Jejamo.com selalu menebarkan kebaikan dan menginspirasi…
Cerdas!