PERSOALAN kredit macet yang dilakukan hampir sebagian besar masyarakat Indonesia memang masih menjadi momok tersendiri untuk kelangsungan lembaga penjamin pembiayaan kendaraan.
Hal itu disinyalir sebagai dampak langsung dari rendahnya kesadaran masyarakat dalam memahami komitmen pembiayaan kendaraan yang ditalangi lembaga penjamin.
Ini sekaligus membuktikan perilaku konsumen perlu dikunci dengan regulasi-regulasi yang lebih adil bagi semua pihak yang terkait dalam perjanjian pembiayaan tersebut.
Mengutip pernyataan akademisi hukum perdata UGM, Sri Soedewi Mafsoen Sofwan, pada dasarnya mitigasi risiko soal lembaga penjamin pembiayaan kendaraan masih berkutat pada persoalan pihak bank dan penjamin (avalis).
Sehingga kreditur perseorangan kerap lepas dari jerat hukum meskipun fenomena semacam ini kadung menjadi rahasia bersama di tengah masyarakat kita tanpa ada upaya untuk memperbaiki sistem hukum perdata di republik ini.
Buruknya mitigasi risiko dalam dunia penjamin pembiayaan kendaraan seperti yang terangkum pada UU No 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan tadi pada gilirannya memperparah situasi dunia usaha di tengah resesi ekonomi pasca-Covid-19 yang sebenarnya membutuhkan semacam terobosan-terobosan hukum yang lebih bernas membaca persoalan dan kenyataan di lapangan.
Perputaran ekonomi menjadi semakin lambat bergulir oleh karena banyak kasus hukum justru didakwakan pada lembaga penjamin pembiayaan kendaraan seolah bidang usaha ini adalah bidang usaha yang sudah sepatutnya menjadi pesakitan atau kambing hitam di mata peradilan hukum kita.
Bis dipahami kemudian apabila lembaga penjamin pembiayaan kendaran banyak yang mati suri bahkan gulung tikar karena buruknya perilaku konsumen.
Dalam sejumlah proses peradilan hukum misalnya seperti yang menimpa lembaga penjamin pembiayaan kendaraaan dengan latar belakang serupa di Lampung seperti yang terjadi pada PT Natar Perdana Motor (NPM) yang berstatus sebagai penjamin (avalis).
Meski sudah berstatus inkracht oleh hakim, isu tersebut kerap kali dijadikan sebagai senjata oleh oknum-oknum yang berkepentingan untuk membunuh karakter pemilik PT NPM dalam perihal lain.
Yakni dalam hal keputusannya untuk maju dalam kontestasi pilkada yang sama sekali tak ada kaitannya dengan persoalan hukum tersebut.
Fenomena semacam ini rasanya merupakan sebuah sinyalemen bahwa mitigasi risiko yang hanya memberatkan lembaga penjamin harus segera deselesaikan.
Ini bisa menghambat perkembangan dunia usaha yang sedang membutuhkan percepatan, melainkan juga menyangkut nama baik, martabat, dan marwah.
Ini juga sebagai cambuk bagi buruknya perilaku konsumen yang kerap meloloskan diri dari mitigasi resiko pembiayaan kendaraan. [Esha Enanda]
(Penulis adalah alumnus FISIP Universitas Lampung)