KAJIAN tentang Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia dewasa ini, khususnya perilaku pemilih (voting behaviour) di era-pemilihan langsung merupakan topik menarik yang selalu relevan diperbincangkan.
Tidak hanya bagi peneliti, akademisi, elit politik dan partai politik, namun kajian tersebut juga penting menjadi konsen Penyelenggara Pemilu serta stakeholder lainnya dalam mendukung upaya pembangunan demokrasi subtansial di Indonesia.
Dalam konsepsi demokrasi, John Locke dan Rousseau menyatakan bahwa terselenggaranya Pemilu adalah keniscayaan atas pilihan sistem demokrasi di sebuah Negara.
Konsepsi demokrasi menjamin adanya kebebasan, keadilan, dan kesetaraan bagi individu dalam segala bidang. Termasuk partisipasi politik setiap warga Negara dalam Pemilu. Penyelenggaraan Pemilu yang berkualitas tidak lain merupakan sebuah indikator dari kualitas demokrasi di sebuah Negara.
Mencermati dinamika dan perkembangan demokrasi di Indonesia dari masa-kemasa, khususnya perilaku memilih dalam Pemilu, dapat disimpulkan bahwa terjadi perubahan perilaku memilih yang selaras dengan upaya pembangunan demokrasi di Indonesia sejak gelaran Pemilu pertama di Indonesia tahun 1955 sampai dengan era-Reformasi 2019 yang lalu.
Desain sistem Pemilu secara bertahap memberikan ruang terbuka bagi partisipasi warga Negara dalam mengekspresikan pilihan politik secara langsung. Hal ini sesuai dengan pandangan Firmanzah dalam Riyadi (2010 : 15) yang menyatakan bahwa pemilih tipe rasional telah ditemukan paska Pemilu Reformasi 1998.
Namun, persoalan perilaku memilih tetap saja menyisakan problem dan tantangan, misalnya masih adanya praktek politik primordial dan politik identitas dalam setiap gelaran pesta demokrasi pada tiap tingkatan.
Firmanzah dalam Riyadi (2010: 15-17) menyatakan bahwa pemilih atau orientasi pemilih secara teori diklasifikasikan dalam empat konfigurasi yaitu pemilih rasional, kritis, tradisional dan pemilih skeptis.
Pemilih rasional adalah pemilih dengan orientasi yang tinggi terhadap kebijakan partai atau kandidat, serta berorientasi rendah terhadap idiologi partai atau kandidat.
Pemilih ini mengutamakan kapabilitas kandidat, rekam jejak serta program kerja yang ditawarkan. Sementara pemilih kritis berorientasi tinggi pada idiologi serta kemampuan partai atau kandidat dalam menyelesaikan persolan bangsa. Pemilih ini selalu menganalisis antara idiologi partai dengan kebijakan yang dibuat.
Tipe ketiga adalah pemilih tradisional. Ciri khas pemilih ini berorientasi tinggi pada idiologi partai atau kandidat, namun tidak mempetimbangkan kebijakan partai atau kandidat.
Pemilih ini mempertimbangkan kedekatan sosial-budaya, nilai, etnis, asal-usul, serta agama dalam menentukan pilihan politik.
Menurut Firmanzah tipe pemilih ini merupakan pemilih mayoritas di Indonesia. Dan tipe pemilih terakhir adalah pemilih skeptis. Pemilih ini tidak memiliki orientasi terhadap idiologi partai dan kandidat, serta menilai kebijakan partai politik adalah sesuatu yang tidak penting.
Pemilih ini beranggapan bahwa siapa pun yang menjadi pemenang Pemilu tidak akan berpengaruh terhadap perbaikan bangsa. Pada tataran ekstrem pemilih tipe ini cenderung memilih menjadi golongan putih (golput).
Saya menilai, kharakteristik pemilih yang ideal dalam mendukung upaya pembangunan demokrasi di Indonesia adalah tipe pemilih rasional dan pemilih kritis. Tipe pemilih tradisional merupakan tantangan, mengingat jumlah pemilih dengan orientasi-orientasi tradisional tersebut merupakan pemilih mayoritas saat ini, sedangkan tipe pemilih skeptis lebih cenderung tidak mendukung upaya-upaya pembangunan demokrasi di Indonesia.
Dua tipe pemilih tersebut merupakan tantangan yang menjadi tanggungjawab bersama. Tidak hanya partai politik yang secara teori dan hukum berperan dalam hal pendidikan politik dan sosialisasi politik kepada masyarakat.
Tidak kalah penting perlunya Penyelenggara Pemilu turut mengupayakan adanya program-program edukatif dan sosialisasi kepada pelilih yang lebih massif misalnya melalui kegiatan voter education, pamlet, selebaran dan pertemuan tatap muka langsung dengan masyarakat, serta optimalisasi sosial-media.
Tidak lain upaya tersebut dalam rangka memberikan pendidikan politik kepada pemilih. Pemilih yang rasional dan kritis, akan mempengaruhi kualitas hasil Pemilu, dan pada akhirnya akan berimplikasi pada pembangunan demokrasi di Indonesia.
Dalam konteks demokrasi lokal di Lampung, sebuah studi dengan tema Perilaku Memilih Etnis Jawa pada Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Lampung Tahun 2008 (Studi di Kecamatan Pekalongan Kabupaten Lampung Timur) memberikan gambaran yang selaras dengan upaya pembangunan demokrasi di Indonesia.
Dalam konteks lokal, riset tersebut menyimpulkan bahwa perilaku memilih etnis Jawa di Provinsi Lampung pada gelaran Pemilu Kepala Daeran dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Lampung tahun 2008 tersebut didasari dua faktor utama yaitu pertama penilaian rasional (rational choise) yaitu bagaimana kualitas kandidat, popularitas kandidat serta program kerja yang ditawarkan oleh kandidat.
Kemudian faktor kedua adalah aspek psikologis yaitu faktor identifikasi pemilih terhadap pengenalan partai politik dan kandidat yang akan dipilih dalam kontestasi tersebut. Dua hal ini, mencirikan bahwa kharakteristik pemilih dalam konteks lokal tersebut selaras dengan ciri pemilih rasional dan pemilih kritis yang mendukung proses pembangunan demokrasi di Indonesia. []
(Penulis adalah Pemerhati Sosial, Alumni FISIP Universitas Lampung dan Penerima Beasiswa S2 Bakrie Center Foundation (BCF) Universitas Lampung 2012)