Jejamo.com – Pasca penembakan brutal di klub malam kaum gay “Pulse Club”, bakal calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump kembali menegaskan seruannya soal larangan muslim masuk ke wilayah AS.
Seperti dilansir CNN, Selasa, 14/6/2016, Trump malah memperluas larangan itu untuk negara-negara yang memiliki sejarah terorisme. Bahkan dia mengisyaratkan perluasan wewenang presiden melalui perintah eksekutif yang hanya bisa dikeluarkan seorang presiden AS.
“Respons pembenaran politik saat ini memicu ketimpangan dalam kemampuan kita untuk berbicara dan berpikir dan bertindak dengan jelas. Jika kita tidak tegas, dan kita tidak cerdas, dan cepat, kita tidak akan lagi memiliki negara ini. Tidak akan ada apapun, tidak ada, yang tersisa,” ucap Trump saat berbicara di Saint Anselm College, New Hampshire.
Dalam komentarnya, Trump tidak menyebut langsung nama pelaku penembakan di Orlando yang diidentifikasi sebagai Omar Mateen. Namun Trump menyebut pelaku sebagai warga Afghanistan, dari orangtua Afghanistan yang bermigrasi ke AS. Padahal faktanya, Mateen merupakan warga negara AS yang lahir di New York dari orangtua Afghanistan.
“Kita tidak bisa terus mengizinkan ribuan orang dan ribuan orang untuk masuk ke negara kita, yang kebanyakan memiliki pola berpikir yang sama dengan pembunuh kejam ini,” cetus Trump.
“Ingatlah, Islam radikal itu antiwanita, anti-gay dan anti-Amerika,” imbuhnya.
CNN menyebut, pidato Trump menanggapi penembakan di Orlando itu jelas merupakan upaya untuk menempatkan dirinya sebagai agen perubahan yang kuat untuk AS. Trump berusaha memposisikan diri sebagai sosok yang mampu mengikis budaya kelemahan dan ketidakmampuan otoritas AS, yang disebutnya memicu terorisme mengakar di AS dan mengancam budaya AS.
Strategi semacam ini sejak lama dijalankan Trump demi menarik simpati pendukung dan membantunya memenangkan pemilihan awal Partai Republik.(*)
Detik.com