Jejamo.com, Bandar Lampung – Alumnus SMAN 2 Bandar Lampung Arif “Uud” Budiman kemarin memposting sebuah tulisan dan foto soal pengalamannya beriktikaf di Masjid Al Muslimun, Pahoman, saat Ramadan lalu.
Yang menarik, Uud, sapaan sayang Arif Budiman, menulis soal adanya dua bocah yang sanggup salat tahajud berjamaah sampai dengan selesai.
Ada memang beberapa anak kecil lain yang ikut iktikaf bersama orangtuanya, namun Uud melihat hanya dua anak yang pada malam ke-29 sampai ikut tahajud berjamaah pada pukul 02.15.
Postingan Uud ini lumayan ramai mendapat tanggapan. Rata-rata salut kepada dua anak kecil ini yang bisa qiamulail dengan baik. Sebuah pembelajaran kepada orang dewasa yang mungkin belum tentu saban malam Ramadan bisa salat tahajud.
Yuk simak isi postingan lengkap alumnus Fakultas Teknik Universitas Lampung ini. Redaksi jejamo.com menyuntingnya supaya lebih ringkas dan makin enak dibaca. Cekidot, Gan.
Foto ini diambil pada pukul 02.52 WIB, malam ke-29 Ramadan 1437 H, di Masjid Al Muslimun, Pahoman. Malam ganjil terakhir, saat peserta itikaf membeludak. Peserta malam itu mencapai 400-an orang.
Seperti biasa, Â sepertiga malam diisi dengan salat tahajud mulai pukul 02.15 sampai dengan 03.00 WIB. Imam masjidnya seorang hafiz Quran.
Waktu yang cukup pagi sebenarnya buat yang belum terbiasa. Kalau bukan di masjid seperti ini, rasanya akan sangat sulit sekali untuk bangun jam segini. Apalagi pada masa Itikaf Ramadhan seperti ini, bakda tarawih biasanya masih diisi dengan membaca Alquran ataupun berbincang dengan sesama rekan yang sedang iktikaf bersama (kebiasaan tak baik kalau iktikaf bareng banyak yang kenal, malah jadi kayak reuni).
Yang membuat menarik adalah adanya dua anak belia yang ikut salat malam. Ada juga anak-anak kecil lain yang ikut beritikaf, tetapi jarang yang ikut salat malam (atau mungkin saya tidak terlalu memperhatikan ya karena biasanya anak-anak berada di saf paling belakang). Tapi karena duo kecil ini tepat di samping saya, saya tertarik memperhatikan. Kebetulan pas malam itu harus menunggu antrean di kamar mandi yang sangat panjang sehingga posisi safnya ada di bagian belakang.
Duo kecil ini kakak dan adik. Saya panggil saja Si Kakak dan Si Kecil. Usia mereka tak terpaut jauh sepertinya, mungkin hanya berjarak dua tahunan.
Sang Kakak nyerah duluan ternyata di rakaat keempat.
“Ngantuk, Yah”, kata Si Kakak sambil menoleh ke belakang ke arah ayahnya.
Lalu dia duduk di pinggiran saf shalat dan bersandar ke dinding masjid. Sedangkan Ayahnya berdiri dan menuju dua saf di depannya karena kosong ditinggal jamaah yang menyelesaikan salatnya.
Sembari mengajak si kecil yang ternyata masih kuat mengikuti salat malam ini. Saya pikir dia akan mengikuti jejak si kakak yang diperbolehkan istirahat, tetapi ternyata tidak.
Sang kakak yang istirahat lebih dahulu tidak dijadikannya alasan untuk tidak mengikuti rakaat-rakaat selanjutnya. Di mana total waktu salat ini rata-rata adalah 45 menit lamanya. Gerakan salatnya pun tampak sempurna untuk anak seusianya.
Demi melihat kejadian ini, saya jadi tertarik untuk mengambil gambar karena saya pikir ini momen langka. Tidak sembarangan anak-anak sekecil mereka yang mau mengikuti Ayahnya untuk salat di waktu yang selarut itu.
Tanpa mengeluh, tanpa merengek. Saya tak pandai menaksir, tapi mungkin usianya sekitar 4-5 tahunan.
Pakaiannya biasa saja khas anak kecil. Celana berbahan jins setengah tiang dengan atasan kaus yang juga setengah lengan. Mencolok ditengah jamaah yang rata-rata berjubah atau minimal berbaju koko. Warna hijau pupusnya juga kontras dengan warna pakaian sekitarnya yang dominan polos.
Saya ambil beberapa gambar untuk dijadikan inspirasi buat saya sendiri dan mungkin juga buat yang lain. Satu rakaat penuh saya tunggui.
Dan hebatnya lagi, si kecil ini benar-benar menyelesaikan salat malamnya sampai rakaat terakhir, rakaat ke delapan. Luar biasa. Karena jamaah yang bertahan sampai rakaat terakhir pun biasanya tidak semuanya.
Masya Allah, pikir saya. Semoga dengan didikan sejak dini seperti itu dari sang ayah dan bundanya, bisa membentuk generasi yang baik dan kokoh di masa yang akan datang. Mampu bergelut dengan gempuran arus budaya hedon dan kebarat-baratan yang digandrungi anak-anak muda masa kini.
Jika sekecil itu saja sudah bersedia diajak menjumpai Rabb-Nya dalam sepertiga malam terakhir, semoga kelak dewasanya akan jauh lebih dari itu.
Ah, akhirnya refleksi itu kembali ke pribadi saya. Anak sekecil itu kece abis ssalehnya. Sekecil itu saja sekuat itu, sedangkan saya? Masih sering ogah-ogahan.
Masih suka menunda. Lebih suka bermalasan. Melalaikan waktu yang utama ini. Sepertiga malam terakhir. Di mana malaikat turun ke langit bumi, dan doa-doa dikabulkan.
Salat malam yang awalnya adalah sebuah kewajiban untuk Rasul dan para sahabat. Terima kasih, “dedek kecil nan saleh ” atas inspirasinya, teladannya.
Semoga bisa mengajari saya yang pemalas ini. Lebih giat dan kuat untuk sejenak berdiri di sepertiga malam terakhir. Menjumpa Rabb pemilik seluruh alam semesta. Mengadu segala keluh. Mengaduh segala gaduh. Menengadah segala kesah. Memanjat segala munajat. Meminta segala doa. Membasah atas segala salah.(*)
Laporan Adian Saputra, Wartawan Jejamo.com