Jejamo.com, Kota Metro – Sejumlah warga mengeluhkan pembangunan saluran irigasi di lingkungan RW 09, Kampung Sawah, Kelurahan Hadimulyo Barat, Kecamatan Metro Pusat, Kota Metro. Musababnya, dampak dari proyek peningkatan talut dinilai justru merugikan lingkungan warga di sekitarnya.
Salah seorang warga yang rumahnya terletak di seberang saluran irigasi, Suherni(39), mengaku kesal atas keberadaan tanggul yang dibangun lebih tinggi dari jalan. Menurut dia, sejak dinding irigasi tersebut dibuat lebih tinggi, rumahnya kerap kemasukan air lumayan banyak saat hujan turun.
“Semenjak dinding saluran irigasi ini dibikin tinggi, rumah saya sering kemasukan air hujan. Ya gimana, biasanya air hujan dari jalanan langsung masuk ke situ, ini karena tinggi, jadi masuknya ke rumah saya,” ucap Suherni, Rabu, 17/5/2023.
Jejamo.com mencatat proyek pengerjaan peningkatan saluran irigasi tersebut dilakukan pada awal November 2022 dan ditargetkan rampung pada Desember 2022 lalu. Dari pantauan di lokasi, tanggul irigasi yang dibangun lebih tinggi dari jalan nampak janggal, tingginya sekitar 50 sentimeter. Sedangkan tanggul yang letaknya tepat di depan rumah Suherni terlihat lebih rendah, hampir rata dengan permukaan jalan. Tidak terdapat lubang-lubang drainase pada dinding talut, sehingga menyebabkan air hujan mengalir ke rumah-rumah warga di seberangnya.
Suherni mengaku perbedaan tinggi tanggul itu disebabkan oleh permintaannya dan sejumlah warga lain. Sebab masyarakat sekitar talut tidak menghendaki dinding pada saluran air itu dibangun lebih tinggi dari permukaan jalan.
“Memang kami yang minta itu tidak dibikin tinggi. Ya gimana, dari awal itu dibangun, memang kami sudah tebak, air hujan bakal masuk ke rumah. Soalnya, rumah kami kan sekarang posisinya lebih rendah,” ungkapnya.
“Dulu, sebelum jalan ini dibangun, posisi rumah kami lebih tinggi dari jalan. Tapi, setelah jalan dibangun, ditambah lagi tanggul talut itu dibuat tinggi, ya akhirnya kalau hujan, air jadi menggenang di rumah,” tukasnya.
Warga lainnya, Tamami (52) juga mengeluhkan hasil pengerjaan peningkatan konstruksi talut. Menurut dia, rehabilitasi saluran air itu dikerjakan secara asal. Lantai talut yang tidak dilakukan normalisasi, diduga membuat aliran air merembes hingga ke halaman rumahnya.
“Ya lantainya itu kan seharusnya dikeruk dulu, baru disemen. Nah ini boro-boro. Dikeruk enggak, disemen juga enggak, cuma dindingnya aja yang dibuat tinggi. Itu rembesan airnya sampai ke halaman rumah saya,” ujar Tamami.
Ia menyayangkan usulnya supaya lantai talut dilakukan normalisasi, pada akhirnya tidak dikerjakan oleh pekerja proyek. Mengenai hal itu, bahkan dia pernah berdebat dengan salah seorang petugas yang ia duga merupakan pengawas dari Dinas PUTR Metro.
“Sebelum kerjaan ini dinyatakan selesai, saya sudah pernah bilang kalau ini enggak akan beres kalau lantainya enggak disemen. Pekerjanya bilang iya, nanti disemen. Tapi nyatanya kan enggak,” keluhnya.
“Pernah ada orang dari PU ke sini, ngecek kerjaan ini. Dia bilang itu disemen katanya, saya suruh aja dia cemplung ke situ untuk ngecek. Baru dia percaya kalau lantainya itu enggak disemen,” jelasnya.(*) (Anggi)