Jejamo.com, Metro – Calon wali kota Metro Abdul Hakim yang berpasangan dengan Muchlido Apriliast, berdasar hitung cepat Rakata Institute hanya memperoleh suara 28,30 persen. Angka ini di bawah pesaing utama mereka, Pairin-Djohan yang meraup 41,67 persen.
Suara lainnya tersebar untuk Sudarsono-Taufik Hidayat (17,06 persen), Okta Novandra-Wahadi (11,36 persen), dan Supriadi-Megasari (0,90 persen.
Buat Abdul Hakim, ini adalah kegagalan kedua kali dirinya mengikuti Pilkada. Tahun 2005, ia dimajukan PKS sebagai calon wali kota Bandar Lampung berpasangan dengan Zainal Iskandar, seorang pendidik, mantan kepala sekolah Indonesia di Praha, Republik Ceko.
Dalam putaran pertama, Abdul Hakim-Zainal Iskandar (AHZI) menang di atas pesaing kuatnya Eddy Sutrisno-Kherlani. Sayangnya, suara pasangan ini tak mencapai 25 persen.
Dahulu, jika ada calon yang tak mendapat 25 persen, dilakukan putaran kedua yang diikuti dua pasangan yang mendapat suara terbanyak.
Dalam putaran kedua, Abdul Hakim-Zainal Iskandar kalah dari Eddy Sutrisno-Kherlani. Abdul Hakim pun kembali bergiat melaksanakan amanat rakyat sebagai anggota DPR.
Ketua Umum pertama DPW Partai Keadilan (cikal bakal PKS) yang dikenal sebagai dai ini kemudian tak lagi berkecimpung dalam dunia “per-pilkada-an”. Kariernya moncer di Senayan. Bahkan menjabat sekretaris Fraksi PKS di DPR. Ia beberapa kali tampil sebagai narasumber di televisi nasional berkenaan dengan isu infrastruktur.
Tahun 2015 ini ia kembali dimajukan partai sebagai calon wali kota Metro. Ia disandingkan dengan seorang dokter hewan yang juga pengurus teras DPP Partai Gerindra pimpinan Prabowo Subianto: Muchlido Apriliast. PKS dan Gerindra sepakat berkoalisi.
Namun, ada satu konsekuensi yang mesti dilaksanakan Hakim. Berdasar regulasi paling anyar, ia mesti mundur dari anggota DPR. Ia pun pamit mundur dari Senayan.
Kursinya di Senayan diserahkan kepada Ahmad Junaidi Auli. Ini cukup unik. Saat Hakim meletakkan jabatan ketua umum dalam Muswil Partai Keadilan tahun 2000, ia juga digantikan Ahmad Junaidi Auli. Kini, Hakim kembali digantikan Junaidi.
Proses kampanye dilakukan Hakim dan Muchlido, pasangan yang akrab diringkas AHLI oleh para pendukungnya. Sehari sebelum Pilkada Kota Metro, rumah Hakim di Metro dilempar molotov.
Usai pencoblosan di hari H, Rakata Institute melakukan penghitungan suara. Di Metro, lembaga survei Sai Wawa Institute pun ikut mengalkulasi suara.
Hasilnya, seperti yang sudah banyak diberitakan media massa, Pairin-Djohan yang menjadi pemenang versi hitung cepat. Hakim kembali gagal. Meski hasil resmi mesti menunggu ketok palu KPU Metro, hasil hitung cepat diprediksi tak bakal jauh meleset.
Seperti sering dikatakan Hakim, layaknya prajurit, ia selalu siap ditempatkan oleh partai di mana ia bernaung. Meski tak lagi menjadi anggota DPR, tugas Hakim sebagai dai tetap berjalan 24 jam.
Ia dikenal sebagai pendiri Pondok Pesantren Mahasiswa Daarul Hikmah di bilangan Gedongmeneng. Kini, di kompleks itu, berdiri TK dan SD Islam Terpadu. Rumah Hakim bersama keluarga pun terletak persis di samping masjid di kompleks Perguruan Daarul Hikmah Tersebut.
Bagi hampir semua yang kenal Hakim, ia dipandang sederhana dan mudah diajak berkomunikasi. Ajakan untuk kegiatan kebaikan pun, tak sungkan ia lakoni.
Jejamo.com merasakan sendiri sebuah pengalaman tatkala meluncurkan sebuah novel bergenre remaja muslim yang sarat nilai antikorupsi: Ghandaru. Hanya bermodal SMS memintanya menjadi narasumber dan pembahas novel itu, ia hadir. Bahkan, datang duluan ketimbang peserta. Salam takzim untukmu, Ustaz Abdul Hakim.(*