Berita Bandar Lampung, Jejamo.com – Waktu menunjukkan pukul 13.05. Matahari tepat di atas kepala. Menyinari bukit hijau di sebelah kanan. Dan debu menyelimuti pemandangan akibat terbawa hembusan angin dari kendaraan besar. Yang lewat. Tepatnya di Jalan Baru dekat Pelabuhan Panjang, Bandar Lampung, hari itu, akhir pekan lalu.
Ragu sempat jadi penghalang. Melangkahkan kaki memasuki gang becak. Melewati kawasan padat penduduk. Mayoritas warga sekitar mencari nafkah di Pelabuhan Panjang.
Melanjutkan perjalanan. Melewati gang-gang berikutnya. Jauh mata memandang. Plang Sutra “Kawasan Wajib Kondom”. Siang hari sepi. Kalaupun ada, penghuninya menghindar. Masuk ke gang berbelok ke arah kanan. Dua wanita sedang berhias. Duduk santai di teras rumah.
Di, wanita berperawakan sedang. Rambutnya pendek sebahu. Bibirnya diulas gincu merah. Dress yang kenakan pendek berwarna pink. Celananya jins yang ketat. Di sebelahnya, Yu memakai dress berwarna ungu.
Jejamo.com mendekatinya. Di pun bicara. Ia mengipasi tubuhnya. Dengan kepala tertunduk, ia mulai berbicara. “Saya baru tiga bulan di sini, sebelumnya di Indramayu,” ujarnya.
Ia mengaku dulu pernah dua kali menikah. Menikah pertama waktu umur 15 tahun. Dari hasil pernikahan itu, ia memiliki dua anak yang tinggal di Indramayu.
“Mau gimana lagi, suka dukanya harus dihadapi. Selama di Lampung, jarang keluar dari Pemandangan. Paling jauh cuma ke Pasar Panjang,” lanjutnya.
Lain lagi dengan Yu yang juga berasal dari Indramayu. Ia juga pernah menikah dan memiliki anak. “Tapi sudah lama cerai,” ungkapnya.
Jejamo.com terus menyusuri gang. Sampai di ujung gang, berbelok ke kiri. Sebelah sebuah warung. Dua pekerja sedang duduk mengobrol.
Er bertubuh besar. Ia memakai tanktop garis-garis. Celananya berkaret ketat. Sedangkan In berbadan subur. Montok. Ia mengenakan tanktop hijau muda. Rok jinsnya ketat.
Begitu bertemu, ia langsung masuk ke rumah. Menurut Er, kawannya itu memang pemalu. “Baru satu bulan ia di sini,” kata Er.
Si empunya warung, mengatakan, “Ya tahu sih kalau mereka gitu. Tapi saya enggak mau kalau mereka di sini, sekadar jajan mah enggak apa-apa,” kata dia.
Ibu pemilik warung ini sudah 18 tahun berdagang di sini. Ibu dengan dua orang anak ini mengaku prihatin dengan keadaan seperti ini. “Anak saya titipkan di Jawa sama budenya. Ini yang masih SMP juga nanti mau saya suruh ke sana. Takut kalau di sini,” ujarnya.
“Sebenarnya waswas, apalagi kalau petugas sedang masuk. Ya kalau bisa, sekarang pindah,” kata dia.
Agak jauh dari sini terlihat masjid besar dan megah. Jejamo.com menemui Ujang Syafaat, pengurus Masjid Nurul Taqwa. Ia memakai kopiah dan baju takwa (koko) lengkap dengan sarungnya. Ujang berjanggut putih. Ia mengatakan, upaya yang baru bisa dilakukan untuk mengatasi lokalisasi ini sebatas pengajian di masjid dan Musala Al-Tahzan di Pemandangan. “Meskipun kampung bersebelahan, kami merasa jauh,” katanya.
Ke depan ia berharap peran pemerintah. “Untuk mengajak secara langsung, kami belum berani. Itu seharusnya tugas pemerintah, tapi prakteknya sampai sekarang masih ada,” kata dia.(*)
Laporan Fachmi Al Aziz, kontributor jejamo.com, Portal Berita Lampung Terbaru Terpercaya