Jejamo.com – Kedutaan Besar Australia di Dili, dikepung lebih dari 10 ribu warga Timor Leste untuk memprotes penolakan Australia bernegosiasi dengan Timor Timur mengenai perbatasan Laut Timor yang kaya minyak dan gas.
Seperti dilansir Sidney Morning Herald, aksi warga Timor Timur itu dilakukan setelah mantan Presiden dan Perdana Menteri Timor Timur, Xanana Gusmao, menyeru rakyatnya untuk melawan sikap Australia tersebut. Unjuk rasa yang berlangsung pada 22-23 Maret 2016 itu merupakan yang terbesar sejak negara tersebut melepaskan diri dari Indonesia pada 1999.
Xanana mengatakan Timor harus “berdiri teguh dan mengangkat satu suara” untuk menuntut Canberra melakukan negosiasi dengan Timor Leste.
Timor Leste mengklaim telah kehilangan sekitar US$ 5 miliar atau setara Rp 66 triliun royalti dan penerimaan pajak di Laut Timor sejak kemerdekaan. Padahal angka tersebut cukup untuk membiayai semua anggaran negara selama tiga tahun.
Negara yang terbilang masih muda tersebut menegaskan bahwa mereka akan sejahtera dari royalti dan pajak eksploitasi Laut Timor jika norma-norma Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) dipatuhi Australia. Jika merujuk pada UNCLOS, Laut Timor, yang memiliki cadangan minyak dan gas, akan terletak dalam wilayah mereka.
Hampir semua elemen masyarakat Timor Leste turun ke jalan untuk melakukan aksi protes, termasuk mahasiswa dan veteran perjuangan panjang Timor Leste untuk kemerdekaan, bahkan pegawai negeri sipil juga bergabung.
Para pengunjuk rasa berteriak “lepaskan minyak Timor” dan “negosiasi sekarang” serta menuntut kasus ini dibawa kembali ke pengadilan.”Sebagai negara besar dan kuat di wilayah tersebut, Australia tidak harus menggunakan kekuatannya untuk terus mencuri masa depan kami dari Laut Timor,” ujar Juvinal Dias, penyelenggara protes dari Gerakan Melawan Pendudukan Laut Timor.
Perdana Menteri Timor Leste Rui Araujo menulis kepada Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull awal tahun ini guna meminta mereka membicarakan batas laut permanen di Laut Timor.
Turnbull menanggapinya dengan menawarkan pembicaraan bilateral, tapi menolak permintaan mengadakan diskusi khusus tentang isu batas maritim.(*)
Tempo.co