
Jejamo.com, Bandar Lampung – Waktu pemulihan akan berbeda-beda bagi setiap anak korban kekerasan seksual. Hal itu bergantung pada seberapa parah tingkatan trauma yang dirasakan.
Bagi beberapa anak, bahkan perlu waktu sebentar untuk pulih. Biasanya terapis hanya perlu memberikan penjelasan tentang apa yang terjadi pada mereka. Demikian dikemukakan psikolog yang juga dosen Bimbingan Konseling FKIP Universitas Lampung Shinta Mayasari kepada jejamo.com via percakapan Facebook, Kamis, 12/5/2016.
Shinta mengatakan, bagi anak-anak yang menunjukkan gejala-gejala tertekan dan trauma, mereka perlu mendapat penanganan khusus dari terapis. Jika orangtua melihat anaknya cemas, stres, atau depresi, dan sulit melupakan peristiwa pelecehan seksual, orangtua perlu segera membawa ke terapis.
“Terapis akan memeriksa apakah anak-anak mempunyai pemikiran yang tidak rasional atau ide ide yang tidak realistis, seperti menyalahkan diri sendiri atas peristiwa tersebut,” kata dia.
Jika demikian, lanjut Shinta, biasanya anak akan diajarkan untuk mengubah pola pikir tersebutt. Terapis akan memberi pengertian juga bahwa reaksi berupa emosi negatif atau perasaan marah, sedih, atau kecewa yang muncul adalah hal yang normal.
“Namun, pemikiran bahwa hal ini terjadi karena kesalahan mereka atau mereka merasa tidak berharga adalah hal yang perlu diubah,” lanjutnya.
Alumnus SMAN 2 Bandar Lampung ini menambahkan, anak-anak akan dilatih untuk menerima emosi dan perasaan negatif yang muncul, lalu diajarkan cara relaksasi untuk mengelolanya dengan latihan regulasi emosi.
Kepada orangtua, terapis juga akan memberikan pemahaman bahwa orangtua tidak boleh berlebihan atau overprotektif kepada anak.
“Sebab, ini malah akan membuat anak bertambah takut dan cemas. Orangtua sebaiknya berusaha bersikap tenang di depan anak, tetaplah beraktivitas rutin seperti hari hari biasanya, bersikap wajar, dan memiliki harapan yang juga realistis,” kata dia.
Shinta meminta orangtua sebaiknya bekerja sama dengan terapis untuk mengurangi sensitivitas anak terhadap sumber stres, seperti orang, situasi, atau tempat yang mengingatkan anak terhadap peristiwa tersebut.
“Anak biasanya akan mengasosiasikan dan melakukan generalisasi, misalnya jika peristiwa terjadi di kamar mandi, anak akan takut untuk ke kamar mandi. Di sini terapis dan orangtua perlu bekerja sama untuk mengajarkan pada anak bagaimana menghadapi ketakutan mereka terhadap kamar mandi. Anak-anak tetap didampingi untuk menghadapi rasa takut tersebut, bukan menghindarinya,” urainya.
Orangtua juga, tambah Shinta, perlu menjaga bahwa lingkungan di sekitar anak sudah aman, sehingga secara bertahap anak akan menyadari bahwa hal-hal yang ia takuti hanya terjadi di masa lalu dan sekarang tidak terjadi lagi.(*)
Laporan Adian Saputra, Wartawan Jejamo.com