Senin, November 11, 2024

Top Hari Ini

Terkini

Tuntutan Kerja di Era Digital Tinggi, AJI Bandar Lampung Minta Kesejahteraan Jurnalis Diperhatikan

Ilustrasi. | AJI Bandar Lampung
Ilustrasi. | AJI Bandar Lampung

Jejamo.com, Bandar Lampung – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung menuntut kesejahteraan jurnalis diperhatikan perusahaan media tempat sang jurnalis bekerja. Ketua AJI Bandar Lampung Padli Ramdan menyatakan seiring dengan perkembangan teknologi media massa saat ini para jurnalis juga dituntut menguasai berbagai kemampuan media digital. Namun, sayangnya tuntutan perkejaan itu belum sepenuhnya diikuti dengan peningkatan kesejahteraan jurnalis, pemberian fasilitas, dan tunjangan yang memadai.

AJI Bandar Lampung juga menyoroti waktu kerja jurnalis perempuan di atas pukul 23.00 malam. Masih banyak jurnalis perempuan, baik yang bertugas di lapangan maupun di kantor, tidak menerima kompensasi dari waktu kerja mereka hingga lewat tengah malam.

Padahal, menurut Padli, berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor KEP.224/MEN/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang mempekerjakan buruh/pekerja perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00 terdapat sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi perusahaan.

“Yakni terkait pemberian makanan dan minuman bergizi, penjagaan kesusilaan, keamanan selama di tempat kerja, serta penyediaan angkutan antar jemput,” kata Padli seperti dalam rilis yang diterima Jejamo.com, Senin, 1/5/2017.

Selain itu peningkatan kapasitas dan keterampilan pekerjanya terutama jurnalis juga belum menjadi agenda utama industri. AJI juga mencermati praktik hubungan industrial yang tak sehat pada perusahaan-perusahaan pers yang mempekerjakan jurnalis berstatus kontributor.

Padli mengungkapkan hasil survei Divisi Ketenagakerjaan AJI Indonesia memperlihatkan komposisi honor kontributor yang secara rata-rata masih terbilang rendah. Survei AJI menunjukkan honor kontributor bertingkat mulai Rp10 ribu per berita hingga di atas Rp500 ribu rupiah per berita.

Rinciannya 42 persen mendapat honor Rp10 ribu – Rp100 ribu, sebanyak 22 persen mendapat honor Rp100 ribu – Rp200 ribu, sebanyak 25 persen mendapat honor per berita sebesar Rp200 ribu – Rp300 ribu, sebanyak 8 persen mendapat honor per berita Rp300 ribu – Rp500 ribu, dan ada 3 persen yang mendapat honor Rp500 ribu per berita. Di beberapa daerah tingkat honor para kontributor media massa secara akumulatif bahkan tak menyentuh besaran upah menurut UMK (upah minumum kabupaten/kota) setempat.

Sementara itu di era digitalisasi ini memperlihatkan bahwa jumlah media terus bertumbuh. Kondisi yang tidak berbanidng lurus dengan kesejahteraan pekerja media yang minim. Belum lagi bayang-bayang kasus ketenagakerjaan jurnalis yang tidak berdaya berhadapan dengan pengusaha dalam hubungan industrial. Ironisnya serikat-serikat pekerja tetap sulit tumbuh di perusahaan-perusahaan pers besar nasional maupun daerah.

Data terakhir yang dihimpun dari riset AJI dan Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI) hanya ada 25 serikat pekerja media yang bisa diidentifikasi di seluruh Indonesia. Jumlah ini terbilang sangat rendah, yakni hanya sekitar 1 persen dari jumlah media berdasarkan data dewan pers. Padahal keberadaan serikat pekerja sudah diatur dalam Undang Undang Nomor 21 tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja.

Sebab itu,  AJI Indonesia dan AJI Bandar Lampung menyerukan; satu, perusahaan media agar menghentikan praktek kontrak kerja menahun terhadap jurnalis yang menjadi dalih pemangkasan hak-hak jurnalis berstatus karyawan kontrak. Dua, perusahaan media agar memberikan melengkapi jurnalis dengan perlengkapan/peralatan kerja yang memadai di tengah era digital.

Tiga, perusahaan media meningkatkan standar upah jurnalis di tengah perkembangan era digital. Dan empat, perusahaan media tetap memenuhi hak-hak pekerja serta kewajiban perusahaan yang muncul sebagai konsekuensi kerja-kerja era digital.(*)

Populer Minggu Ini