Jejamo.com, Kota Metro – Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Kota Metro, Imron, menilai insiden pengeroyokan yang terjadi di depan Gedung Sesat Agung Bumi Sai Wawai oleh sekelompok anak punk hal yang biasa terjadi. Aksi tersebut merupakan bentuk kenakalan remaja dan dia menyerahkan sepenuhnya peristiwa tersebut ke Satreskrim Polres Metro.
“Terkait pengeroyokan beberapa hari lalu, itu adalah hal biasa dalam kenakalan anak remaja, terlebih di komunitas punk. Kalau kita lihat informasi yang kita dengar itu cekcok antar mereka karena merasa ada semacam ketersinggungan atau apa dan sebagainya akhirnya anak itu dikeroyok. Sekarang sudah ditangani Satreskrim Polres Metro,” jelas Imron saat dikonfirmasi Jejamo.com di ruang kerjanya, Selasa, 28/9/2021.
Imron juga menyampaikan, komunitas punk di Kota Metro masih dapat dibina dengan baik, selagi anggotanya tidak mengalami gangguan atau ancaman dari pihak lain.
“Dulu anggota Satpol PP pernah mengalami kejadian serupa, tiga orang anggota kami dulu pernah dikeroyok oleh sejumlah anak punk tersebut. Kejadian itu kami laporkan ke polisi dan ditindak secara hukum. Memang kebanyakan dari anak-anak punk tersebut adalah anak di bawah umur dan itu kelemahannya untuk dilakukan proses hukum tidak bisa dilakukan terhadap anak-anak di bawah umur,” ujarnya.
Satpol PP sendiri, imbuh Imron, biasanya melakukan penertiban atau pembinaan terhadap komunitas punk tersebut dengan pendekatan persuasif. Berbicara dari hati ke hati, salah satunya dengan menanyakan hafalan Pancasila dan ayat-ayat Alquran
“Dan kami menyimpulkan bahwa sebenarnya anak-anak punk itu tidak ada niat sampai melakukan tindak kejahatan. Mereka hanya sebatas mengekspresikan diri mencari jati diri dengan pakai tato, dan pakaian-pakaian yang nyentrik itulah cara-cara eksentrik yang biasanya mereka lakukan,” ucapnya.
Imron juga mengatakan, menertibkan anjal dan komunitas punk di Kota Metro adalah bagian dari tugas-tugas Satpol PP yaitu melakukan pembinaan terhadap anak-anak jalanan tersebut.
“Kendala kami dalam melakukan penertiban, atau pembinaan terhadap komunitas anak-anak jalanan tersebut adalah kurangnya fasilitas berupa rumah singgah. Mungkin misalnya kami menangkap mereka lalu kami giring mereka untuk dibina ke suatu tempat, dan tempatnya itu belum ada, di situ kami terkadang merasa bingung hingga akhirnya menyadari harusnya ada rumah singgah untuk melakukan pembinaan,” terang Imron.
Dia berharap ke depan Pemkot Metro mulai serius melakukan antisipasi dengan minimal membuat satu tempat seperti rumah singgah sebagai tempat pembinaan terhadap anak jalanan. “Atas kejadian tersebut saya mengimbau kepada semua personel Satpol PP khususnya untuk menjalankan tugas dengan tidak melakukan suatu sikap atau tindakan arogansi terhadap warga Kota Metro siapa pun itu, tidak terkecuali anak-anak jalanan tersebut,” pungkasnya.(*)[Abid Bisara]