Jejamo.com, Bandar Lampung – Wakil Gubernur Lampung Bachtiar Basri menegaskan, petani kopi Bumi Ruwa Jurai tidak bergantung lagi terhadap asosiasi. Sebab, sebelumnya, asosiasi memonopoli ekspor kopi tersebut.
“Misalnya AEKI, untuk ekspor, pengusaha kopi harus melalui AEKI terlebih dahulu. Kalau sekarang tidak,” katanya saat diwawancarai media di Mahan Agung, Sabtu 13/2/2016.
Menurut Bahtiar, perusahaan bisa membina petani kopi dengan catatan menjaga mutu dan membantu produktivitas melalui pupuk dan modal.
“Itu yang paling penting. Sekarang sudah pasar bebas, jadi tidak mesti harus ini, harus itu,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, sebagian kecil produksi kopi Lampung berasal dari hutan lindung yang sudah menjadi Hutan Kemasyarakatan (HKM) dan bersifat legal karena memiliki izin dari kepala daerah setempat.
“Resmi mereka, ada SK Bupatinya sewaktu kebijakan Presiden Abdurahman Wahid. Dan jelas sudah HKM. Jadi, jika ada yang mengatakan tidak legal, itu salah, karena ditanam melalui izin,” ungkapnya.
Ia menegaskan, kopi Lampung pernah memiliki grade satu pada 1992 dengan harga berkisar Rp15 ribu. Namun, harga kopi terjadi penurunan karena kalah dengan dengan petik merah yang lebih susah dibanding dengan yang dicampur-campur (asal-asalan).
“Saya belum tahu kopi Lampung berada di grade berapa. Mungkin masuk ke grade 2 atau 3,” ucapnya.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin rapat di Mahan Agung bersama para gubernur berkenaan isu kopi nasional.(*)
Laporan Arif Wiryatama dan Sugiono, Wartawan Jejamo.com