Jakarta, Jejamo.com – Wacana program bela negara yang digagas Kementerian Pertahanan terus bergulir. Sejumlah kelompok masyarakat sipil seperti Imparsial, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia serta Komisi untuk Orang Hilang dan Kekerasan menganggap program tersebut tidak berbeda dengan konsep wajib militer.
Apabila program bela negara akhirnya memang mengarah ke wajib militer, warga negara dapat menolak menjalankan kewajiban itu.
Direktur Program Imparsial Al Araf, mengatakan warga negara dapat mengabaikan kewajiban bela negara yang bernuansa wajib militer berdasarkan prinsip conscientious objection yang diakui resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
“Setiap warga negara atas dasar keyakinan dan agamanya berhak menolak wajib militer karena menolak penyelesaian konflik dengan senjata,” ujarnya di Jakarta seperti dilansir jejamo.com dari CNN Indonesia, Rabu, 14/10/2015.
Al Araf mengatakan, prinsip tersebut secara implisit juga diatur pada pasal 18 Deklarasi Universial Hak Asasi Manusia dan pasal 18 Kovensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
Lebih dari itu, menurutnya, Komisi Tinggi HAM PBB juga telah mengeluarkan Resolusi 1998/77 tentang adanya hak untuk menolak partisipasi wajib individual atas agenda wajib militer.
“Program bela negara yang bernuansa wajib seperti diungkapkan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu tidaklah tepat,” tutur Al Araf.
Meski tujuannya adalah menumbuhkan rasa nasionalisme, ia mendorong pemerintah untuk memaksimalkan pendidikan kewarganegaraan. Koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah tidak memaknai bela negara sebagai bentuk militerisasi warga sipil melalui pendidikan dasar kemiliteran.(*)